“Di tengah masyarakat dan perilaku beragama yang dinamis dan terus berubah, metode dakwah seperti apa yang diperlukan oleh Muhammadiyah?”. Begitu pemantik pertanyaan Ahmad Muttaqin saat mengisi materi “Profil Baru Masyarakat dan Perilaku Beragama di Indonesia” dalam Pengajian Ramadan 1445 H, bertempat di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (14/03/2024).
Berbagai fenomena keagamaan turut menjadi bahasan dalam materi dan diskusi oleh Sekretaris Majelis Diktilitbang PPM tersebut. Permasalahan korupsi misalnya, Ahmad Muttaqin menyebutkan bahwa tingginya indeks religiusitas juga dibarengi dengan meningkatnya tingkat korupsi di Indonesia. “Ada 98 persen mengaku agama itu penting, tapi disaat bersamaan angka korupsi juga tinggi,” paparnya. Hal ini membuktikan bahwa faktor keagamaan atau religiusitas bukan menjadi satu-satunya faktor yang dapat mencegah seseorang melakukan praktik koruptif.
Fenomena lain yang tak kalah menarik yakni praktik beragama yang hanya sebatas transaksional semata. “Orang beragama di Indonesia masih memperhatikan supply and demain,” ungkap Muttaqin. Realitas itu dapat dijumpai pada kelompok beragama baru yang berada pada kelas ekonomi menengah ke atas. Pada kelompok ini, agama terasa sangat transaksional dengan adanya jual beli doa diantaranya.
Terlebih saat ini, tantangan baru yang harus dihadapi yakni adanya arus generasi z dan generasi milenial mengenai pandangan terkait keagamaan. Survei yang dilakukan Media and Religious Trends in Indonesia (MERIT), dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta juga memaparkan bahwa generasi milenial dan generasi Z memiliki tingkat paling rendah religiusitasnya. Generasi z dan milenial juga lebih banyak mengakses informasi keagamaan melalui media sosial seperti YouTube dan Podcast. Tentunya ini menjadi tantangan bagi Muhammadiyah untuk berinovasi dan melebarkan gerakan dakwah pada generasi muda.
Menjawab fenomena diatas, Muttaqin menyarankan agar Muhammadiyah dapat membangun kembali budaya masa lalu. Budaya beragama dapat ditampilkan pada praktik-praktik dan tidak sebatas skriptualis. “Beragama yang bijak tidak hanya dilakukan secara organisasi, tapi juga pada pribadi tokoh-tokohnya,” pungkas Muttaqin, Wadir Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.
Be the first to comment