Pendidikan tinggi di Indonesia saat ini berperan penting dalam menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas demi kemajuan bangsa. Namun, terdapat tiga point utama masalah prioritas pendidikan tinggi di Indonesia. Begitu papar Dirjen Diktiristek Kemendikbudristek RI, Prof Abdul Haris dalam forum silaturahmi bersama Majelis Diktilitbang PPM. “Ini permasalahan yang kita sudah tahu ya. Ini PR besar yang belum selesai. Ini bukan tugas individu tapi ini tugas kelompok, kita bekerja sama mengerjakan permasalahan ini,” ujar Prof Abdul Haris dihadapan pimpinan PTMA se-Indonesia, Selasa (11/05/2024).
Masalah Prioritas Pendidikan Tinggi di Indonesia
Pertama, ketimpangan Akses (Inequality in Access). Pada data Angka Partisipasi Kasar (APK), rendahnya pendidikan berdampak pada global talent competitiveness index Indonesia yang berada dibawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, Thailand dan Filipina (INSEAD, 2022). Sebagai data tambahan, hanya 2,8% penyandang disabilitas yang menyelesaikan pendidikan tinggi (Komisi Nasional Disabilitas, 2022). Di sisi lain, peningkatan APK pendidikan tinggi menimbulkan kekhawatiran ditengah adanya 1.2 juta pengangguran terdidik (BPS, 2022). Abdul Haris menjelaskan bahwa APK menjadi suatu hal yang penting karena APK bagian dari tolak ukur atau matriks yang menunjukkan indeks kompetitifnes.
Kedua, kesenjangan Kualitas (Inequality in Quality), meningkatkan kualitas tentu menjadi tugas Kemendikbudristek melalui LLDIKTI. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dirjen Diktiristek, total perguruan tinggi yang mendapatkan akreditasi (A) 1%, (B) 13%, (C) 0%, (Unggul) 2%, (Baik Sekali) 7%, (Baik) 43%, dan Belum Terakredikasi 34%.
Ketiga, kurangnya Relevansi Pendidikan Tinggi (Less Relevance of HE). Adanya perubahan lanskap job market mengakibatkan ijazah dan gelar akademik tidak menjadi jaminan memperoleh pekerjaan. Muncul kebutuhan skill baru akibat perubahan teknologi. Biaya kuliah mahal berakibat meningkatkan persepsi masyarakat bahwa pendidikan tidak sepadan dengan manfaatnya. Munculnya alternatif model pembelajaran, banyak pelatihan/kursus daring yang lebih terjangkau dan fleksibel. Terputusnya hubungan akademisi – industri yang dimana universitas memprioritaskan pengetahuan teoretis dan penelitian, sedangkan industri mengejar keterampilan dan pengalaman praktis. “Sebuah perguruan tinggi tugas utamanya cukup dua, pertama kita memiliki atau menghasilkan mahasiswa yang berkompetensi, mahasiswa yang kita ajarkan itu dilengkapi dengan kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri. Kedua, SDMnya itu adalah menghasilkan karya-karya ilmiah atau riset yang tentu bisa memberikan jawaban atas permasalahan yang ada di masyarakat,” ujar Abdul Haris.
Abdul Haris juga memaparkan arah kebijakan dan strategi Ditjen Diktiristek. Pertama, Meningkatkan Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi. Kedua, menguatkan mutu dan relevansi pendidikan tinggi. Ketiga, menguatkan mutu dosen dan tenaga didik. Keempat, menguatkan sistem tata kelola Ditjen pendidikan tinggi. Kelima, menguatkan riset, inovasi dan pengabdian kepada masyarakat. Ia turut mengingatkan bahwa ini merupakan pembelajaran bagi kita bersama. Menurutnya secara akademisi, memang sulit untuk melakukan inovasi ataupun terobosan sebab dibentengi oleh berbagai macam aturan. “Ini menjadi pembelajaran kita bersama, tentunya ada tantangan yang harus dilalui. Namun dalam membentuk inovasi kita perlu melahirkan berbagai terobosan-terobosan baru,” paparnya. [] nis
Be the first to comment