Muhammadiyah memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan moderasi beragama. Sebab itulah Muhammadiyah selalu mengedepankan narasi-narasi moderasi, bahkan di tengah pertarungan ideologi internal. Tegas Hatib Rachmawan, dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) saat menjadi narasumber Talkshow Ramadan bertajuk “Haedar Nashir dan Pengarusutamaan Moderasi Beragama”.
Talkshow tersebut membahas buku Jalan Baru Moderasi Beragama: Mensyukuri 66 Tahun Haedar Nashir. Buku dengan tebal 506 halaman ini berisi 26 topik dan melibatkan 23 tokoh lintas agama membahas urgensi moderasi beragama di tengah masyarakat yang semakin plural. Di selenggarakan oleh Pegiat Pendidikan Indonesia (Pundi) berkolaborasi dengan Jamkrindo, Islam Milenial, Laboratorium Filsafat UIN Sunan Kalijaga, dan Ada Sarang.
Koordinator Program Pundi itu menyampaikan pandangannya tentang moderasi beragama dalam Muhammadiyah dan tantangannya bagi generasi muda. Hatib menilai, narasi moderasi yang digagas oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, dapat diterima oleh kalangan konservatif.
“Pak Haedar adalah sosok yang genuine. Pendidikannya ditempa di Indonesia, tetapi gagasannya diterima secara internasional,” ujar Hatib pada Ahad, (31/3/2024) di Aula Ada Sarang, Banguntapan, Yogyakarta.
Sebagai landasan dalam memahami moderasi beragama, Hatib menekankan pentingnya memahami Al-Qur’an dengan tiga dimensi, yaitu individual, keumatan, dan rahmatan lil alamin. Baginya, generasi muda perlu melampaui cara berpikir berkelompok (post-nahnuniyyah) dalam moderasi beragama. “Pemahaman ini penting untuk melandasi moderasi beragama. Tidak semuanya harus dipahami secara fiqh atau hitam putih. Humanisme tetap harus dikedepankan. Maka manusiakanlah manusia,” pesannya.
Moderasi Beragama Generasi Muda
Selain menghadirkan Hatib, Pundi juga mendatangkan Elga J. Sarapung, Mutiullah, dan Jumaldi Alfi. Setiap narasumber berbagi pandangan tentang bagaimana membangun toleransi antarumat beragama.
Elga J. Sarapung, selaku Direktur Institut Dialog Antar-iman (DIAN) Interfidei sekaligus kontributor buku tersebut, menegaskan pentingnya moderasi beragama bagi generasi muda dalam menghadapi realitas masyarakat yang semakin beragam. “Kita harus belajar hidup dengan yang berbeda. Kita harus proaktif. Karena kalau kita tidak banyak bergaul, di kepala kita hanya ada stereotype. Kita terlalu banyak curiga,” ujarnya.
Elga juga mendorong generasi muda untuk tidak hanya fokus pada satu bidang ilmu, seperti agama. “Bicara soal moderasi beragama, kita tidak hanya bisa belajar soal Alkitab atau Al-Qur’an, kita harus belajar juga ilmu-ilmu lain. Bagaimana bisa kita memahami teologi tetapi tidak mempelajari ilmu-ilmu lain atau buta terhadap kenyataan,” terangnya.
Elga mengapresiasi program moderasi beragama yang digagas oleh pemerintah dan berbagai organisasi. Menurutnya, program ini sejalan dengan pemikiran Haedar Nashir tentang keutamaan hidup rukun dan damai dalam perbedaan. “Pemikiran moderasi beragama Pak Haedar bukan hanya soal beragama, tetapi juga aspek-aspek kehidupan yang lain. Pluralisme bukan hanya soal antar-agama, tetapi juga intra-agama.” papar Elga.
Moderasi Beragama Sosial-Ekonomi dan Kebudayaan
Sementara Mutiullah, Direktur Laboratorium Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menyampaikan pandangannya tentang moderasi beragama dan kaitannya dengan dimensi sosial-ekonomi. Ia menilai bahwa sosok Haedar Nashir memiliki sikap kritis terhadap berbagai persoalan dan menawarkan solusi dengan menekankan peran kaum intelektual. “Perubahan itu sangat ditentukan oleh peran kaum intelektual. Moderasi beragama tidak perlu diteriakkan, tetapi dipraktikkan. Moderasi beragama itu ruhnya Pancasila,” tegasnya.
Berkaca dari Haedar Nashir yang sangat kritis terhadap pelbagai problematika kebangsaan, Mutiullah memandang moderasi beragama perlu dikaji dalam dimensi sosial-ekonomi. “Pak Haedar Nashir tentu saja sering mengungkapkan bahwa moderasi beragama bukan hanya soal agama, tetapi juga soal sosial dan kesejahteraan ekonomi,” tutupnya.
Lebih lanjut, moderasi beragama dan perannya dalam menarik minat generasi muda di kebudayaan, Jumaldi Alfi mengemukakan bahwa spirit penggerak moderasi beragama adalah kesenian dan kebudayaan. “Batas-batas etnis maupun kelompok dapat dicairkan oleh kesenian dan kebudayaan. Perbedaan tidak lagi menjadi hambatan,” paparnya.
Sebab itu, pegiat seni dan kebudayaan yang akrab disapa Uda Alfi mendorong agar gerakan kebudayaan menjadi fokus utama dalam moderasi beragama. “Bukan hanya soal kebudayaan lama yang perlu dilestarikan, tetapi juga kebudayaan kaum muda yang sangat dinamis seperti sekarang,” tuturnya.
Lewat agenda ini, Pundi berharap dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang moderasi beragama kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Menjadi wadah untuk membangun dialog dan kerjasama antarumat beragama dalam mewujudkan masyarakat yang damai dan harmonis. []bahry/ron
Be the first to comment