Pak Ritonga begitulah sapaan akrab di kalangan civitas akademika dan Mahasiswa kepada Direktur Pascasarjana UM Sumatera Barat. Dalam usia yang relatif muda Ritonga mencapai posisi tertinggi akademik sebagai Guru Besar atau yang biasa disebut Profesor. Dia lahir dari kalangan keluarga yang sangat dan sangat berkekurangan pada 41 tahun yang lalu, tepatnya di desa Purbatua, 19 November 1982. Desa kelahirannya tersebut saat ini telah merger dengan beberapa desa menjadi sebuah Desa yang ditetapkan dengan nama “Rura Aek Latong”.
Semasa kecil kehidupan keluarganya sangat memprihatinkan, bahkan dari hasil wawancara dengan beliau “Masa kecilnya jarang tinggal di kampung, melainkan tidur di lading (Marbanggung) atau di sawah”. Kehidupan sangat sulit, ibu tidak jarang harus mencampur nasi dengan jagung agar cukup untuk dimakan bersama keluarga (Tuturnya).
Mahyudin merupakan anak dari pasangan Khalifah Jalil Ritonga dan Siti Nur Aminah Dalimunthe. Saat ini alhamdulillah ayahnya masih sehat wal’afiat, diperkirakan berusia 90 tahunan dan menetap di daerah kandis sejak tahun 2001. Sementara ibunda beliau telah meninggal sejak tahun 1998 dimana pada saat itu Prof. Ritonga masih duduk di bangku Tsanawiyah tepatnya di Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Purbasinomba.
Sejak di Pondok Pesantren beliau telah terbiasa dengan hidup mandiri, sulitnya kehidupan telah menjadi bagian dari kesehariannya. Mencari getah, mencangkul di sawah orang, dan membersihkan ladang orang sebagai buruh harian sudah menjadi rutinitasnya agar mendapatkan kebutuhan hidup. Mendengar kisah hidup beliau yang penuh dengan perjuangan, saya tidak dapat menahan air mata.
Bagaimana Perasaan Setelah Menjadi Guru Besar?
Kesulitan di masa lalu adalah hal yang paling manis buat saya untuk saat ini, ujar Prof. Ritonga. Alhamdulillah, penuh syukur dan terimakasih kepada berbagai pihak terutama kepada istri, anak, ayah, ibunda, teristimewa kepada pimpinan Universitas yang selalu memberikan support tiada tepi.
Beliau menegaskan, sebelum mendapatkan SK Professor ada dua sosok yang telah terlebih dahulu Guru Besar dihati dan kehidupannya, pertama, Ayahanda beliau yakni Khalifah Jalil, menurutnya pengalaman kesulitan hidup kedua orang tua merupakan pelajaran terbesar, dalam kondisi demikian ayah tetap memaksa kami anak-anaknya untuk tetap bersekolah, namun banyak di antara kakak dan adik yang tidak siap, tuturnya.
Kedua, KH. Abdul Efendi Ritonga, BA., beliau di mata saya adalah Guru Besar sebelumnya, dikatakan demikian karena pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Parmeraan ini telah menyelamatkan pendidikan saya saat di jenjang Aliyah, tepatnya awal kelas III. K ala itu saya jadi anak “bandel” di Pondok Pesantren Darussalam Parmeraan, yang hanya asik mencari getah, dan bekerja di sawah orang untuk menerima upah harian, sementara shalat berjamaah di Mushala pesantren jarang kelihatan, masuk sekolah pun sudah jarang.
Suatu ketika secara tiba-tiba beliau datang menemui saya dan menyuruh untuk berhenti dari semua pekerjaan tersebut. Sebagai gantinya, saya disuruh mengembala kambing dan mengurus sawah bersama anak beliau bernama Roisuddin Ritonga, dan mulai saat itu saya hidup bersama dengan keluarga Kiyai. Jika tidak ada solusi dari Kiyai, wallahu a’lam kemungkinan jenjang Aliyah saja tidak akan tercapai tutur Ritonga mengenang masa lalunya.
Apakah Pernah Berpikir Akan Meraih Guru Besar?
Prof. Ritonga mengatakan, bagi saya menjalankan pekerjaan harus fokus, berpikir untuk menjadi guru besar itu muncul setelah menyelesaikan Studi Doktor. Lagi-lagi fokus dalam menjalankan tugas adalah kuncinya, makanya sejak kuliah S1 pada jurusan Pendidikan Bahasa Arab dapat dia selesaikan dalam waktu 3,5 tahun, begitu juga S2 pada jurusan yang sama dapat selesai dalam kurun waktu 2 tahun, dan pada jenjang S3 di jurusan yang sama selesai hanya dalam waktu 20 bulan.
Setelah selesai S3 Ritonga mengajar di berbagai kampus bahkan ke berbagai Negara, namun dia merasa arah hidupnya tidak jelas. September 2013 Prof. Ritonga menerima SK di UM Sumatera Barat, dan mulai saat itu beliau berkomitmen untuk kembali fokus, maka sejak itulah dia memulai karir sebagai dosen, mengurus jabatan fungsional di tahun 2014, memperoleh kenaikan pangkat pada 2016.
Pada tahun 2018 Ritonga mengajukan kenaikan pangkat dari Lektor menjadi Lektor Kepala namun usaha kerasnya dihadapkan pada ketidakjelasan langkah-langkah yang mesti ditempuh, sementara semua bahan sudah siap. Kondisi demikian membuka pikirannya untuk berkomunikasi dengan berbagai pihak terutama dengan Sumber Daya di LLDIKTI Wilayah X, dan pada akhir tahun 2021 bahan untuk naik ke Lektor Kepala diserahkannya ke LLDIKTI Wilayah X, tanpa butuh waktu lama, dalam kurun waktu 3 bulan SK Lektor Kepala dengan Kum 700 sampai ke tangan, sungguh capaian yang luar biasa, kata penulis mengungkapkan rasa kagum.
Ya iyalah semua bahan telah terpenuhi bahkan melebihi dari aspek pendidikan dan pengajaran, penelitian, pengabdian dan pendukung, jawab Prof. Ritonga sambil bercanda.
Banyak Akademisi Yang Telah Mengabdi Puluhan Tahun, Namun Belum Mencapai Guru Besar, Mungkin Prof., Bisa Berikan Langkah-Langkah Yang Harus Ditempuh!
Menjadi guru besar adalah impian setiap dosen terutama yang sudah berpendidikan S3, maka untuk mencapainya kita musti memahami aturan/regulasi yang berlaku. Hal yang terpenting sebagaimana pengalaman saya adalah melaksanakan tridharma secara baik serta mencatat/mendokumentasikannya.
Secara pribadi, Laptop adalah kawan terbaik saya siang dan malam, di kantor dan di rumah, setiap kegiatan yang saya lakukan dalam keseharian langsung saya masukkan ke form pengajuan jabatan fungsional dan saya buatkan file pdfnya, sehingga ketika tiba saatnya diperlukan tidak sulit untuk mencarinya. Misalnya, pada Januari 2023 muncul edaran semua dosen musti melakukan pengajuan atau pengakuan kinerja, jika tidak maka kinerja mereka sampai akhir 2022 dianggap hangus. Kala itu saya tidak ambil pusing, karena semua data sudah terdokumentasi dan telah dimasukkan sesuai form pengajuan, baik bidang A, B, C, D maupun bidang E.
Mahyudin Ritonga mengungkapkan, bahwa pengajuan dirinya menjadi Guru Besar sudah dilakukan sejak bulan Maret 2023 dan hasilnya keluar di bulan Mei, namun hasil yang keluar tersebut belum disetujui karena masa kerja belum 10 tahun. Tepat pada September 2023 cukup sudah pengabdiannya selama 10 tahun, dan verifikasi dilakukan pada awal Oktober dan alhamdulillah disetujui sesuai TMT pada 1 November 2023.
Biasanya kesulitan yang di alami dosen saat memenuhi syarat mencapai Guru Besar ialah pada aspek syarat khusus dan syarat tambah. Syarat khusus adalah publikasi artikel pada journal bereputasi, dan syarat tambahan itu ialah salah satu dari 3 aspek berikut ; 1) pernah memenangkan hibah penelitian senilai 100 juta, 2) membimbing/menguji 2 orang doktor, 3) reviewer pada 2 journal bereputasi.
Syarat khusus dan syarat tambahan ini menjadi kendala bagi banyak dosen. Secara pribadi, menerbitkan artikel pada journal bereputasi bagi saya sudah menjadi kebutuhan bukan lagi kewajiban, dan sampai saat ini saya telah berhasil menerbitkan setidaknya 76 (tujuh puluh enam) artikel pada journal bereputasi.
Menurutnya keberhasilan dalam menerbitkan artikel pada journal bereputasi tidak lepas dari kegigihannya mengikuti berbagai pelatihan yang diadakan oleh publisher ternama di dunia, seperti Elsevier, Taylor & Francis, Sage, Springer, dan beliau sendiri aktif dalam event yang diadakan publisher-publisher tersebut dan sering berbagi link kepada teman-teman dosen. Bahkan tidak jarang Ritonga harus bangun malam untuk mengikuti event yang diadakan publisher karena perbedaan waktu di Indonesia dengan negara penyelenggara.
Pengalaman Prof. Ritonga dalam memenuhi 1 dari 3 syarat tambahan menjadi guru besar mungkin bermanfaat untuk para akademisi, seperti memenangkan hibah, menurut informasi dan pengalaman beliau, berbagai lembaga setiap tahun mengadakan hibah, baik oleh dikti, kemenag, Brin bahkan masing-masing kampus memiliki hibah internal.
Untuk mendapatkannya butuh keseriusan dalam menyusun proposal hibah sehingga layak didanai oleh penyelenggara hibah, secara pribadi Ritonga banyak menghabiskan waktu untuk belajar di berbagai tempat terkait strategi penyusunan hibah. Sementara untuk menjadi pembimbing atau penguji dua orang doktor kemungkinan hanya bisa didapatkan oleh dosen-dosen yang mengabdi pada perguruan tinggi yang telah memiliki program doktor.
Adapun menjadi reviewer pada journal bereputasi tidak terlepas dari record dosen dalam publikasi, sehingga dari record tersebut para editor journal menawarkan untuk mereview artikel yang mereka pandang sesuai dengan keahlian calon reviewer. Dan Prof. Ritonga memenuhi ketiga aspek tersebut baik pemenang hibah, reviewer journal bereputasi, maupun penguji dan pembimbing doktor yang dilakukannya pada Perguruan Tinggi lain.
Kelengkapan syarat khusus dan syarat tambahan menurut Ritonga adalah kunci utama diterimanya SK sebagai Profesor pada bidang Ilmu Pendidikan Bahasa Arab. Karena bidang pengajaran, dan pengabdian masyarakat tergolong mudah untuk dipenuhi setiap dosen.
Berdasarkan penelusuran redaksi, sejak Prof. Dr. Masnal Zajuli, MA (Guru Besar UIN Imam Bonjol) meninggal dunia, belum ada yang meraih gelar guru besar bidang Bahasa Arab/Pendidikan Bahasa Arab. Diterimanya SK Guru Besar oleh Prof. Dr. Mahyudin Ritonga, S.Pd.I, MA menjadikannya satu-satunya Profesor bidang Bahasa Arab/Pendidikan Bahasa Arab di Wilayah Sumatera.
Sebagai Guru Besar Pertama Di UM Sumatera Barat, Apa Harapan Serta Langkah-Langkah Yang Akan Anda Lakukan Prof.?
Harapan ke depan ialah bisa membantu, mencerahkan teman-teman dosen untuk sampai pada puncak gelar akademik tertinggi, apalagi kita telah memiliki Program Doktor Program Studi Islam.
Adanya program studi ini menjadi tantangan dan peluang bagi UM Sumatera Barat. Dikatakan tantangan ialah harus mampu menjaga eksistensi keberadaan guru besar minimal tiga orang, dan saya katakan peluang dikarenakan teman-teman dosen yang sudah Lektor Kepala bisa dengan mudah memenuhi syarat tambahan menjadi guru besar yakni pembimbing atau penguji doktor.
Sebagai pimpinan Program Pascasarjana sekaligus Ketua TIM PAK Universitas, kita memiliki komitmen untuk membantu teman-teman agar dapat mencapai gelar Guru Besar. Langkah-langkah yang akan kita tempuh ialah memberikan pelatihan penulisan artikel yang layak dipertimbangkan oleh editor Journal, sosialisasi dan pelatihan berbagai perangkat yang dapat digunakan dosen dalam meningkatkan kualitas artikel, pengenalan journal bereputasi, dan pelatihan menjadi reviewer journal.
Kita sangat yakin, dengan kesungguhan dan komitmen dari masing-masing dosen insyaAllah beberapa tahun ke depan UM Sumatera Barat akan melahirkan Guru Besar pada berbagai bidang keilmuan, ucap Prof. Ritonga penuh keyakinan.
Be the first to comment