Kualitas pengajaran dan pembelajaran pendidikan vokasi memang menjadi salah satu fokus utama dari Ditjen Pendidikan Vokasi saat ini. Pasalnya, permasalahan Pendidikan Vokasi memanglah berputar-putar pada permasalahan yang sama. Diantaranya yakni anggapan lulusan yang kurang kompetitif, sulitnya mencari pekerjaan, hingga menganggap lulusan vokasi ialah lulusan buangan. Upaya yang dilakukan Kemendikbudristek melalui Ditjen Pendidikan Vokasi seolah mematahkan statement tersebut. Beberapa ikhtiar turut dijalankan seperti pemerataan akses, fasilitas dan kualitas SDM, tenaga pendidik, hingga penjaminan mutu dari pendidikan vokasi. Hal ini demi menciptakan lulusan vokasi yang memiliki softskill serta hardskill yang mumpuni, diiringi dengan integritas dan berdaya saing secara global.
Namun pertanyaannya, apakah upaya ini dapat menjadikan Pendidikan Vokasi menjadi tren pendidikan ke depannya? Bagaimana upaya Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA) dalam mendorong kemajuan trend Pendidikan Vokasi?
Warta PTM Edisi Desember bertemakan “Revitalisasi Pendidikan Vokasi” akan mewawancarai beberapa narasumber diantaranya Dr Ahmad Qonit AD, MA selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya, H Supandi MT selaku Direktur Politeknik Muhammadiyah Magelang, Haryanto, S Kep Ners MSN PhD selaku Rektor Institut Teknologi dan Kesehatan (ITEKES) Muhammadiyah Kalimantan Barat, Jaelani ST MT dan selaku Direktur Politeknik Muhammadiyah Tegal, dan Dr H Effendy Rasiyanto MKes selaku Direktur Poltekkes Muhammadiyah Makassar.
Urgensi Pendidikan Vokasi
Lulusan Pendidikan Vokasi belum semuanya sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Begitu kiranya paparan dari Haryanto, S Kep Ners MSN, PhD, Rektor Institut Teknologi dan Kesehatan (ITEKES) Muhammadiyah Pontianak saat ditanya pendapat mengenai perkembangan pendidikan vokasi saat ini. Haryanto memaparkan jika dilihat dari banyaknya RS dan fasilitas saat ini tentu membutuhkan jumlah tenaga kesehatan khususnya jumlah perawat yang tinggi pula. Namun sayangnya, lulusan Pendidikan Vokasi belum siap untuk bekerja dikarenakan kompetensi lulusan masih bersifat general yang masih tidak sesuai dengan kebutuhan RS. “Tidak semua lulusan bisa diserap karena pembiayaan dan anggaran pemerintah terbatas,” paparnya.
Melalui kacamata yang sama, Dr H Effendy Rasiyanto MKes juga memaparkan bahwa pendidikan vokasi misalnya pada bidang kesehatan memang belum terlihat perkembangannya. “Ada tiga hal yang mengalami kendala yakni dosen yang berkompetensi, ruang laboratorium, dan peralatan laboratorium,” paparnya. Demikian pula papar, Dr Ahmad Qonit AD, MA selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya yang menilai minimnya dukungan SDM dan sarana prasarana pada dunia vokasi yang masih banyak kekurangan. “Masih lemahnya kesesuaian antara DUDI dan pendidikan vokasi. Itu masih jauh dari harapan. Akibatnya, jumlah pengangguran terdidik dan terbuka justru berada pada lulusan vokasi,” paparnya.
Tren Pendidikan Vokasi ke Depan
Lantas apakah pendidikan vokasi dapat menjadi tren pendidikan ke depannya? Menjawab pertanyaan ini, Jaelani ST MT, Direktur Politeknik Muhammadiyah Tegal dengan sigap menyatakan pendidikan vokasi dapat menjadi tren ke depannya. Namun tentu dengan banyak catatan yang perlu dibenahi. “Semua tergantung kebijakan pemerintah yakni mengoptimalkan SDM dan SDA yang ada,” paparnya. Haryanto juga menambahkan bahwa dalam perkembangan target persentase setiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 persentase mencapai 60 persen umum dan 40 persen vokasi. Pada tahun 2015, angkanya menjadi 50:50. Pada tahun 2020, angkanya menjadi 40 persen umum: 60 persen vokasi; dan target tahun 2025 adalah 30 persen: 70 persen. Target lembaga Pendidikan Vokasi mencapai 70 persen terjadi pada tahun 2025. Dengan begitu, urgensi pendidikan vokasi memang makin terlihat. Terlebih menurut Haryanto, pemerintah dan perguruan tinggi perlu untuk melihat adanya bonus demografi.
Menurut Ahmad Qonit Bonus demografi dengan 68,6% (181,3 jiwa) membutuhkan penguasaan kompetensi, karakter, dan jiwa serta kemampuan entrepreneurship yang kuat untuk mengisi DUDI. “Jika tidak terpenuhi maka bonus demografi akan menjadi malapetaka. Untuk itu dibutuhkan Perguruan Tinggi Pendidikan Vokasi yang berkualitas,” tambahnya. Dengan demikian sebuah perguruan tinggi memang membutuhkan adanya revitalisasi pendidikan vokasi. Hal ini menurut Jaelani didukung oleh beberapa hal seperti orientasi permintaan dunia kerja, daya saing lulusan, perkembangan zaman, dan standar kompetensi baku.
Terapkan Konsep Link and Match
Supandi menyebutkan dalam rangka menautkan penguasaan keahlian terapan maka vokasi perlu untuk menyiapkan SDM dengan kriteria terampil, kreatif, dan adaptif. Selain SDM, bagi Ahmad Qonit, dalam rangka mempersiapkan pendidikan vokasi, perguruan tinggi juga perlu menyiapkan sarana dan prasarana, kerja sama DUDI, kurikulum berbasis TEFA serta entrepreneurship yang kuat. Di samping itu, bagi Jaelani, kebijakan pemerintah juga menjadi faktor penting dalam rangka mengupayakan revitalisasi pendidikan vokasi. Kebijakan pemerintah ini, menurut Haryanto dapat berupa link and match antara pendidikan vokasi dan dunia kerja.
Istilah link and match sendiri bukanlah istilah baru melainkan sudah lama digaungi pada era 90-an silam. Istilah ini dibawa oleh Wardiman Djojonegoro (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) dan Bapak Abdul Latief (Menteri Tenaga Kerja) pada periode 1993-1998. Saat ini, pemerintah melalui Kemendikbudristek sendiri telah mengupayakan program link and match melalui program konsep 8+i. Konsep ini sendiri akan memfokuskan pada implementasi pelaksanaan kerja sama atau taut suai dengan dunia kerja secara konkret dan menyeluruh. Upaya ini menjadi ikhtiar bagi pemerintah untuk dapat menghasilkan peningkatan kualitas pendidikan vokasi. []APR
Be the first to comment