oleh : Prima Trisna Aji
Dosen prodi Spesialis Medikal bedah Universitas Muhammadiyah Semarang
Bangsa Indonesia kembali diguncang kabar yang sangat memilukan. Seorang balita di daerah Sukabumi, Jawa Barat, meninggal dunia setelah tubuhnya dipenuhi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dengan berat mencapai satu kilogram. Video kondisi terakhir anak ini viral di dunia maya: cacing keluar dari mulut, hidung, dan anus, membuat publik terhenyak. Sebuah tragedi yang seharusnya tidak perlu terjadi di era pada zaman sekarang ini, dimana ketika layanan kesehatan dan informasi tersedia begitu luas.
Kasus ini bukan sekadar musibah keluarga saja. Akan tetapi menjadi cermin kegagalan sistem kesehatan preventif yang seharusnya melindungi anak-anak dari penyakit yang bisa dicegah. Bagaimana mungkin di abad ke-21 yang sangat modern sekarang ini, seorang anak masih harus kehilangan nyawanya karena penyakit cacingan, sesuatu yang seharusnya sederhana diatasi dengan pola hidup bersih, sanitasi layak, dan pemberian obat cacing secara rutin? Kasus ini benar – benar sangat memalukan serta sangat menyedihkan.
Luka Kolektif Bangsa
Infeksi cacing gelang sendiri bukanlah suatu hal yang baru. Di Indonesia bahkan termasuk negara dengan prevalensi cacingan tinggi di Asia Tenggara. Data terbaru dari WHO menunjukkan lebih dari 1,5 miliar orang di dunia terinfeksi cacing usus dan anak-anak usia sekolah adalah kelompok paling rentan.
Riset terbaru di Indonesia (2023–2024) menemukan prevalensi infeksi kecacingan anak masih mencapai 20 – 30 persen di beberapa daerah dengan sanitasi buruk. Fakta ini juga didukung dari sebuah studi di Sumatera yang melaporkan hubungan erat antara infeksi Ascaris dengan anemia dan malnutrisi, yang memperlihatkan betapa kecacingan dapat merampas kualitas tumbuh kembang anak sejak dini. Di wilayah sekolah dasar lainnya, prevalensi tercatat hampir 20 persen, dengan risiko lebih tinggi pada anak yang tidak mencuci tangan dengan sabun setelah buang air.
Artinya, kasus balita di Sukabumi Jawa Barat bukanlah suatu fenomena tunggal. Ia merupakan febomena “gunung es” dari masalah yang lebih besar yaitu masih banyak anak-anak Indonesia hidup dalam lingkaran kemiskinan, sanitasi buruk, dan gizi rendah. Lingkungan yang tidak higienis, kebiasaan tidak mencuci tangan, serta keterbatasan akses air bersih menjadikan infeksi cacing seolah hal biasa. Namun ketika jumlah cacing mencapai ratusan ekor dan menyebar ke organ vital tentunya ini sangatlah menyedihkan yang membuat tragedi dinegara Indonesia.
Alarm Gagal Sistemik
Kematian seorang anak karena kecacingan menunjukkan kegagalan sistemik di berbagai sektor lini. Posyandu dan layanan kesehatan masyarakat yang seharusnya menjadi garda terdepan sering kali tidak mampu mendeteksi anak berisiko, entah karena keterbatasan tenaga kesehatan maupun lemahnya koordinasi. Edukasi kesehatan juga belum menjangkau semua keluarga. Padahal gejala kecacingan kerap jelas: perut buncit, berat badan sulit naik, anak mudah lelah, atau anemia yang terus berulang.
Sanitasi pun masih menjadi persoalan besar. Masih banyak keluarga yang tinggal di rumah dengan lingkungan tidak layak, bahkan berdampingan dengan kandang ternak, atau terbiasa buang air sembarangan. Kondisi ini menciptakan siklus infeksi yang terus berulang. Lebih ironis lagi, obat cacing sebenarnya murah dan tersedia gratis di puskesmas, tetapi tanpa distribusi aktif dan kesadaran kolektif, anak-anak tetap terjebak dalam lingkaran penyakit yang bisa dicegah ini.
Dari Tragedi Menuju Perubahan
Tragedi ini seharusnya menjadi peringatan keras bahwa pencegahan tidak boleh berjalan setengah hati saja. Posyandu dan PKK harus benar – benar digerakkan sebagai pusat pemantauan tumbuh kembang dan kesehatan anak. Tidak cukup sekedar kegiatan formal bulanan saja, melainkan harus menjadi wadah nyata untuk mendeteksi dini risiko kesehatan, termasuk kecacingan.
Pemberian obat cacing massal juga perlu dilakukan dengan konsisten. WHO merekomendasikan bahwa pada anak usia 1 – 15 tahun mendapatkan obat cacing minimal setiap enam bulan, dan program ini seharusnya menjadi rutinitas yang terawasi dengan baik. Tanpa pengawasan dan evaluasi yang baik, maka cakupan bisa sekadar angka di laporan tanpa memastikan anak-anak benar – benar terlindungi.
Selain itu, sanitasi lingkungan harus diperbaiki secara serius. Penyediaan jamban sehat, akses air bersih, dan edukasi pola hidup bersih tidak bisa ditunda lagi. Sanitasi sendiri merupakan benteng pertama kesehatan, dan tanpa itu obat cacing hanya akan menjadi solusi sementara.
Tak kalah penting, orang tua perlu dibekali pengetahuan praktis seputar gizi dan kebersihan keluarga. Kebiasaan sederhana seperti mencuci tangan dengan sabun, menjaga kebersihan kuku, serta memberikan makanan bergizi seimbang adalah fondasi yang akan menentukan kesehatan generasi mendatang.
Semua langkah ini hanya akan berhasil jika dilakukan melalui kolaborasi lintas sektor. Masalah kesehatan anak tidak bisa hanya ditangani oleh Kementerian Kesehatan. Dunia pendidikan, pemerintah desa, tokoh agama, dan masyarakat harus ikut bergerak bersama. Hanya dengan gerakan kolektif, kita bisa memutus rantai kecacingan yang telah terlalu lama membayangi anak-anak Indonesia.
Jangan Ada Lagi Raya Kedua
“Raya” nama balita yang meninggal dalam kasus ini benar – benar sangat meninggalkan pesan mendalam bagi bangsa Indonesia itu sendiri. Ia menjadi simbol betapa rapuhnya perlindungan kita terhadap anak-anak, terutama yang hidup dalam kondisi sosial ekonomi rentan. Tragedi ini harus menjadi titik balik keseriusan pemerintah Indonesia untuk memastikan tidak ada lagi anak Indonesia yang meninggal dunia karena penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan langkah sederhana.
Kesehatan anak sendiri merupakan investasi masa depan bangsa Indonesia. Jika sampai kita lalai dan abai, maka yang hilang bukan hanya satu nyawa, melainkan generasi yang seharusnya tumbuh sehat dan cerdas di negara Indonesia.
Mari bergerak bersama orang tua, tenaga kesehatan, sekolah, pemerintah, hingga komunitas. Agar setiap anak Indonesia bisa tumbuh dengan baik tanpa harus bertarung melawan cacing dalam tubuhnya. Agar tidak ada lagi “Raya-Raya” lain yang pergi terlalu cepat, serta meninggalkan duka sekaligus pertanyaan: mengapa bangsa ini lalai menjaga anak-anaknya?
Be the first to comment