Tragedi Sumatra–Aceh: Ketika Banjir Menjadi Darurat Kesehatan Publik yang Terus Kita Abaikan

Tragedi Sumatra–Aceh Ketika Banjir Menjadi Darurat Kesehatan Publik yang Terus Kita Abaikan
Tragedi Sumatra–Aceh Ketika Banjir Menjadi Darurat Kesehatan Publik yang Terus Kita Abaikan, (Foto: Liputan 6).

Banjir besar dan tanah longsor yang melanda Sumatra dan Aceh dalam beberapa hari terakhir bukan sekadar berita duka yang lewat di linimasa. Ini adalah tragedi kemanusiaan. Data resmi mencatat lebih dari 500 orang meninggal dunia, ratusan lainnya masih hilang, dan lebih dari 300 ribu warga harus mengungsi setelah rumah mereka tersapu banjir atau tertimbun longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Angka-angka ini tampak dingin, tetapi di baliknya ada wajah, nama, dan cerita yang tak boleh kita lupakan.

Kisah di Balik Angka: Aisyah dan Air yang Datang Terlalu Cepat

Di sebuah posko pengungsian di pesisir Aceh, seorang ibu muda—sebut saja Aisyah—memeluk erat anak laki-lakinya yang berusia lima tahun. Malam ketika banjir datang, hujan memang turun sejak pagi, tetapi mereka tetap bertahan di rumah. Mereka mengira air akan surut seperti biasanya.

Namun air justru naik dengan cepat, membawa lumpur dan puing. Suami Aisyah berusaha menyelamatkan barang penting, sementara ia menggendong anaknya dalam rumah yang gelap karena listrik padam. Dalam kekacauan itu, mereka terpeleset dan terseret arus sebelum seorang tetangga menarik mereka ke atas perahu kecil. Keesokan harinya, mereka mengetahui bahwa kedua orang tua Aisyah tidak selamat.

Di posko, anak Aisyah mulai diare dan mengalami gatal-gatal. Air bersih terbatas, kamar mandi darurat penuh antrean, dan selimut basah sulit kering. “Saya lebih takut kehilangan anak karena sakit setelah banjir,” katanya lirih. Kisah Aisyah bukan satu atau dua; ini potret nyata wajah kesehatan masyarakat setelah bencana.

Bencana Tidak Hanya Mengambil Nyawa, tetapi Menghantam Fondasi Kesehatan

Setiap banjir dan longsor membawa tiga gelombang ancaman kesehatan. Gelombang pertama adalah ancaman akut. Tenggelam, luka berat, hipotermia, dan syok menjadi penyebab utama kematian. Banyak warga meninggal bukan karena tidak ingin menyelamatkan diri, tetapi karena akses evakuasi tertutup dan mereka tidak pernah mendapatkan pelatihan pertolongan pertama.

Gelombang kedua adalah wabah penyakit. Ketika air mulai surut, penyakit infeksi meningkat tajam. Berbagai studi di Asia Tenggara (2025) menunjukkan diare selalu menjadi penyakit yang paling sering meledak setelah banjir, disusul leptospirosis, ISPA, dan infeksi kulit. Di Indonesia, risiko leptospirosis meningkat signifikan di daerah dengan sanitasi buruk dan populasi tikus tinggi—peringatan yang sering datang terlambat untuk warga paling rentan seperti Aisyah.

Gelombang ketiga yaitu luka psikologis jangka Panjang. Penelitian terhadap penyintas tsunami Aceh menunjukkan bahwa dua dekade setelah bencana, mayoritas masih mengalami kecemasan, depresi, dan trauma yang belum pulih. Kini, generasi baru di Aceh dan Sumatra kembali mengalami episode traumatis yang sama.

Mengapa Korban Terus Berjatuhan?

Pertanyaan yang seharusnya kita ajukan bukan lagi “kenapa banjir terjadi”, tetapi “mengapa dampak kesehatannya selalu sedahsyat ini”. Indonesia adalah negara yang sudah berkali-kali ditempa bencana, namun sistem kesehatan dan tata ruang kita belum benar-benar tumbuh secepat frekuensi bencana.

Sistem peringatan dini iklim dan cuaca sebenarnya ada, namun jalur komunikasinya sering berhenti di layar televisi, aplikasi cuaca, atau konferensi pers di Jakarta. Informasi jarang diterjemahkan menjadi “bahasa tindakan” di tingkat RT, dusun, dan desa. Warga tidak mendapat pesan yang jelas: kapan harus mengungsi, ke mana harus pergi, dan siapa yang akan mengevakuasi kelompok rentan.

Kesiapsiagaan fasilitas kesehatan primer pun masih timpang. Banyak puskesmas di daerah rawan banjir tidak memiliki perahu evakuasi, radio komunikasi darurat, atau stok logistik medis yang memadai untuk tanggap darurat: mulai dari cairan rehidrasi oral untuk diare, antibiotik, perban steril, hingga perlengkapan pelindung diri bagi tenaga kesehatan. Padahal, penelitian di berbagai daerah menunjukkan bahwa kesiapan tenaga kesehatan dan fasilitas dasar memiliki peran sentral dalam mencegah wabah penyakit pascabencana.

Di sisi lain, tata ruang dan pengelolaan lingkungan menjadi faktor struktural yang tidak bisa lagi diabaikan. Penggundulan hutan, alih fungsi lahan di daerah aliran sungai, pembangunan yang mengabaikan daya dukung tanah, dan buruknya drainase kota membuat intensitas hujan yang dulu dapat ditoleransi, kini berubah menjadi bencana berulang. Ketika banjir dan longsor datang, masyarakat miskin di bantaran sungai dan lereng bukitlah yang paling menderita; sebuah pola ketidakadilan yang terus berulang dari tahun ke tahun.

Tinjauan sistematis (2024) yang menganalisis puluhan studi global menyimpulkan bahwa paparan banjir berhubungan dengan peningkatan mortalitas serta morbiditas penyakit saluran cerna, infeksi kulit, dan berbagai penyakit menular lainnya.

Penelitian terbaru di Asia Tenggara (2025) juga menemukan pola “endemi bencana”: setiap musim hujan, jumlah kasus diare dan leptospirosis meningkat secara konsisten di wilayah dengan sanitasi buruk dan kepadatan tinggi.

Dalam hal kesehatan mental, studi jangka panjang di Aceh menunjukkan dampak psikologis bencana dapat bertahan dua puluh tahun atau lebih—dengan perempuan dan anak-anak sebagai kelompok paling rentan.

Semua temuan ini mempertegas bahwa banjir bukan sekadar “musibah alam”, tetapi darurat kesehatan publik yang menuntut respons ilmiah, sistemik, dan berkelanjutan.

Beranjak dari Belas Kasihan ke Tindakan: Lima Agenda Mendesak

Setiap kali bencana terjadi, kita mudah tergerak untuk mengirim bantuan logistik, menggalang donasi, dan mengunggah tagar empati di media sosial. Semua itu penting, tetapi tidak cukup. Jika kita tidak ingin terus menulis berita “ratusan orang meninggal karena banjir dan longsor”, maka kita harus berani membicarakan solusi kesehatan publik secara konkret.

Pertama, mitigasi bencana harus menjadi bagian integral dari layanan kesehatan primer. Puskesmas di daerah rawan banjir dan longsor tidak boleh hanya berfungsi sebagai tempat berobat rutin, tetapi juga sebagai pusat edukasi kesiapsiagaan, pelatihan pertolongan pertama, dan simulasi evakuasi berkala. Tim kesehatan desa yang terlatih harus tahu siapa saja warga dengan risiko tinggi lansia, penyandang disabilitas, ibu hamil, pasien penyakit kronis dan memiliki rencana evakuasi khusus untuk mereka ketika curah hujan ekstrem diprediksi.

Kedua, surveillance penyakit pascabencana harus diperkuat. Pemerintah daerah bersama dinas kesehatan dan puskesmas perlu melakukan pemantauan ketat terhadap kasus diare, leptospirosis, ISPA, dan penyakit kulit sejak hari pertama pengungsian. Penyediaan air bersih, toilet darurat yang layak, serta sarana cuci tangan harus menjadi prioritas, bukan pelengkap. Teknologi sederhana seperti pemurni air portabel dan klorinasi air dapat menyelamatkan banyak nyawa dengan mencegah wabah sebelum terjadi.

Ketiga, layanan kesehatan mental harus hadir sejak awal, bukan setelah semua “tenang”. Kehadiran psikolog, perawat jiwa, konselor, dan relawan terlatih untuk memberikan dukungan psikososial dasar dapat membantu mencegah trauma berkelanjutan. Anak-anak perlu ruang bermain aman, aktivitas terarah, dan pendampingan emosional sehingga ingatan mereka tentang bencana tidak hanya berisi rasa takut dan kehilangan, tetapi juga pengalaman didengar dan dilindungi.

Keempat, pendidikan kebencanaan berbasis kesehatan harus dimulai dari sekolah. Anak-anak di Sumatra dan Aceh, serta wilayah rentan lainnya, berhak tahu bagaimana menyelamatkan diri, bagaimana menjaga higienitas saat air tercemar, dan kapan harus meminta pertolongan medis. Simulasi banjir dan longsor seharusnya sama normalnya dengan upacara bendera.

Kelima, tata ruang dan perlindungan lingkungan harus sungguh-sungguh ditautkan dengan agenda kesehatan. Reboisasi di hulu, moratorium pembangunan di daerah rawan longsor, dan penertiban permukiman di sempadan sungai bukan hanya isu lingkungan, tetapi intervensi kesehatan yang secara langsung menyelamatkan nyawa.

Tragedi Sumatra–Aceh mengingatkan bahwa meski banjir datang bersama hujan deras, besarnya kerusakan sangat ditentukan oleh sejauh mana kita mempersiapkan diri. Bencana mungkin tidak dapat dicegah sepenuhnya, tetapi jumlah korban dan skala penderitaan dapat ditekan jika kita mengelola bencana sebagai krisis kesehatan publik, bukan sekadar urusan darurat sesaat.

Kita berutang kepada Aisyah, anaknya, dan ratusan ribu penyintas lainnya untuk tidak berhenti pada belas kasihan. Setiap banjir berikutnya tidak boleh lagi berarti ratusan pemakaman massal, ledakan diare di posko, atau generasi baru yang tumbuh dengan trauma.

Kesehatan publik adalah benteng terakhir bangsa. Jika benteng ini kita perkuat—di puskesmas, di sekolah, di desa, dan dalam kebijakan ruang—maka hujan deras tidak lagi harus berarti duka mendalam. Dan suatu hari nanti, ketika banjir datang lagi, kita dapat berkata: “Kami lebih siap. Kami belajar. Kami tidak lagi mengabaikan kesehatan publik.”

Penulis : Prima Trisna Aji | Dosen Prodi Spesialis Medikal Bedah Universitas Muhammadiyah Semarang

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*