Kota Palopo berada di persimpangan krisis ekologis. Data terbaru menunjukkan ancaman bencana hidrometeorologi kian nyata, sementara tekanan pembangunan terus meningkat. Situasi tersebut mengemuka dalam Diskusi Multipihak Akhir Tahun 2025 bertema “Potensi Ancaman Bencana Ekologis Mengintai Kota Palopo” yang digelar di Aula Saokotae, Kota Palopo, Jumat (19/12/2025).
Forum strategis ini diinisiasi oleh gabungan organisasi masyarakat sipil, antara lain Yayasan Bumi Sawerigading (YBS), Wanua Lestari, Wallacea, dan WALHI Sulawesi Selatan, serta melibatkan unsur pemerintah daerah, akademisi, aparat, dan tokoh masyarakat. Diskusi dibuka secara resmi oleh Wali Kota Palopo yang diwakili Kepala BPBD Kota Palopo, dengan penekanan pada urgensi kolaborasi lintas sektor dalam memperkuat ketahanan iklim daerah.
Akademisi UM Palopo: Palopo Masuk Kategori Risiko Tinggi
Paparan kunci disampaikan Wahyu Hidayat, dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Muhammadiyah Palopo (UM Palopo). Dalam sesi bertajuk “Potret Ancaman Bencana Ekologis Kota Palopo”, Wahyu mengungkapkan bahwa berdasarkan Indeks Risiko Bencana (IRB) 2024, Kota Palopo berada pada kategori Risiko Tinggi dengan skor 153,08.
Ancaman utama yang dihadapi meliputi banjir bandang, tanah longsor, cuaca ekstrem, hingga potensi likuefaksi. Kondisi topografi Palopo yang curam di wilayah hulu, dikombinasikan dengan meningkatnya titik-titik genangan baru di kawasan perkotaan, menjadi faktor risiko yang saling memperkuat.
“Topografi curam di hulu dan ekspansi kawasan terbangun di wilayah rawan menciptakan kombinasi berbahaya jika tidak diimbangi mitigasi bencana berbasis komunitas yang kuat,” tegas Wahyu.
Ia juga memaparkan data historis bencana yang menunjukkan bahwa kejadian banjir dan longsor telah menyebar hampir di seluruh kecamatan, mulai dari Wara Barat hingga Telluwanua, menandakan bahwa ancaman bencana tidak lagi bersifat lokal, melainkan sistemik.
Perspektif Sektoral: Masalah Hulu hingga Tata Ruang
Diskusi yang dimoderatori Basri Andang (Direktur Wanua Lestari) menghadirkan enam pemantik dari berbagai sektor strategis. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) menyoroti tekanan ekologi akibat pertumbuhan kota yang tidak terkendali di wilayah sensitif. KPH Lamasi menekankan pentingnya pengawasan ketat pembukaan lahan di daerah hulu yang berdampak langsung pada degradasi hutan dan peningkatan debit air ke hilir.
Dari sisi pertanahan, BPN/ATR Kota Palopo mengungkap kompleksitas kepemilikan dan pengelolaan lahan negara di kawasan rawan bencana yang membutuhkan penataan ulang berbasis risiko. BPBD Kota Palopo menekankan penguatan sistem kesiapsiagaan dan early warning system hingga tingkat komunitas. Sementara Dinas PUPR memaparkan urgensi infrastruktur pengendalian banjir terintegrasi, termasuk normalisasi sungai dan pembenahan drainase kota.
Adapun Bappeda Kota Palopo menyatakan komitmen untuk mengintegrasikan hasil diskusi ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan dokumen perencanaan pembangunan agar lebih adaptif terhadap ancaman bencana.
Diskusi yang dihadiri 55 peserta dari unsur akademisi, pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat sipil ini menargetkan lahirnya sebuah policy note atau dokumen rekomendasi kebijakan. Dokumen tersebut akan menjadi panduan bagi pemerintah daerah dalam merumuskan aksi kolaboratif perlindungan ekosistem, mulai dari wilayah hulu hingga pesisir.
“Kita tidak bisa lagi bekerja secara parsial. Kota Palopo membutuhkan komitmen nyata dan kolaboratif untuk menjaga keberlanjutan ekologis demi generasi mendatang, sebelum potensi bencana ini benar-benar melumpuhkan kita,” ujar Abdul Malik Saleh, Direktur YBS, menutup rangkaian diskusi.
Be the first to comment