“Limbah masker medis sulit terurai dan membutuhkan sumber daya yang cukup besar dalam pengelolaannya,” ungkap Eunike Rhiza Febriana Setyadi, mahasiswi ITS penggagas Tempurung Siwalan untuk masker kain pada Kamis (29/4).
Eunike adalah saah satu mahasiswi Institut Teknologi Surabaya (ITS) yang menyalurkan gagasan barunya guna menanggulangi penyebaran wabah virus COVID-19. Idenya adalah masker kain dengan lapisan tengahnya diberi filter khusus berbahan dasar limbah tempurung siwalan. Ia berharap idenya dapat mengurangi limbah masker di era pandemi.
Belakangan, masker medis mulai banyak ditemukan di pasaran. Harganya pun cukup mampu dijangkau oleh masyarakat. Kehadirannya memang sudah ditunggu sejak lama, sehingga kini banyak diburu. Banyak masyarakat memang mengaku lebih nyaman menggunakan masker medis dibandingkan dengan menggunakan masker kain yang dinilai lebih pengap.
Namun, nyatanya limbah yang dihasilkan oleh masker medis juga cukup mengkhawatirkan lingkungan. Masker jenis ini dinilai lebih sulit terurai. Padahal jika ditilik, pemerintah juga menganjurkan masyarakat memakai masker kain tiga lapis.
Melalui esai Potensi Active Carbon Sheet Mask Ramah Lingkungan dari Limbah Tempurung Siwalan guna Mengurangi Penyebaran COVID-10 di Indonesia, Eunike menggagas masker kain dengan filter khusus lembaran karbon aktif sehingga bisa menyaring kotoran, khususnya virus. Gagasan ini dinilai cukup inovatif dan berhasil meraih juara 2 dalam perlombaan esai nasional Forum Komunikasi Mahasiswa Politeknik Indonesia (FKMPI) Lampung.
Eunike menuturkan bahwa karbon aktif ini bisa diperoleh dari kandungan selulosa yang sangat tinggi pada tempurung siwalan, yakni sebesar 89,2%. Buah Siwalan ini juga mudah ditemukan, apalagi di Tuban Jawa Timur yang biasa memproduksi 5.477 ton per tahun.
Proses pembuatan filter ini dimulai dari tempurung yang lebih dahulu dicuci untuk mengilangkan kotoran. Kemudian dikeringkan di oven bersuhu 150 derajat celcius selama dua jam untuk menghilangkan kandungan air. Tempurung Siwalan selanjutnya akan melewati tahap karbonasi.
Sebanyak 1 kilogram sabut siwalan ditempatkan dalam wadah tertutup dan dipanaskan dalam tanur dengan suhu 300 derajat selama satu jam.
Setelah berubah bentuk menjadi arang, kemudian didinginkan, digiling, dan diayak hingga berukuran 90 mesh. Kemudian akan masuk ke tahap aktivasi. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan pori-pori permukaan arang, sehingga dapat meningkatkan daya adsorpsi terhadap cairan dan gas. Karbon direndam dengan Natrium Karbonat (Na2CO3) 25% selama 24 jam dengan perbandingan 1:10.
Proses selanjutnya adalah penyaringan menggunakan kertas saring, pencucian arang aktif dengan aquades lalu dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 150 derajat selama empat jam. Terkahir, tempurung yang sudah menjadi karbon aktif ini akan dibentuk menjadi lembaran tipis ditambahkan bubuk kitosan yang sudah dilarutkan dalam asam asetat 2 persen dengan perbandingan 50:50.
Hasil pencampuran tersebut akan menghasilkan active carbon sheet dengan ukuran pori-pori 3,702 nanometer. Ukuran ini sangat efektif untuk menyaring berbagai macam debu, udara beracun, bakteri, bahkan virus yang berukuran sekitar 125 nanometer sekelas coronavirus. Filter ini dapat digunakan dalam waktu 4-7 hari pemakaian.
Meski dinilai cukup inovatif, Eunike masih belum menemukan penelitian terkait dengan proses pengubahan karbon aktif menjadi lembaran tipis. Ia berharap ide ini nantinya dapat ditindaklanjuti dan diimplementasikan di masyarakat umum.
Reporter : Sri Fatimah
Editor : Sakinah/Uke
Be the first to comment