
Fenomena meningkatnya jumlah sarjana yang menganggur menjadi ironi tersendiri di tengah gencarnya pembangunan sektor pendidikan di Indonesia. Kondisi ini semakin buruk menuju momentum bonus demografi Indonesia Emas 2045. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang, naik sekitar 83 ribu dibandingkan Februari 2024. Tren ini juga tercermin dalam laporan infografis yang menyatakan pengangguran bergelar sarjana meningkat dari 12,2% menjadi 13,9% dari total pengangguran (sumber: katadata.co).
Menanggapi isu tersebut, Nurhadi, Ph.D, Wakil Sekretaris Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah memaparkan fenomena ini terjadi dikarenakan beberapa hal, pertama yakni adanya ketidaksinambungan antara pengetahuan dan skill yang diperoleh pada bangku perguruan tinggi dengan kebutuhan industri. Meningkatnya jumlah pengangguran semakin mempertegas urgensi penyelarasan sistem pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja dan peningkatan kualitas lapangan kerja nasional.
Kedua, ketersediaan pasar kerja yang pada kancah nasional yang masih kurang. Masalah utama terletak pada struktur ekonomi yang masih bertumpu pada sektor padat karya dengan produktivitas rendah, serta minimnya inovasi di sektor industri dan teknologi yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi modern. “Akibatnya, meski jumlah lulusan pendidikan tinggi meningkat setiap tahun, pasar kerja nasional tidak tumbuh cukup cepat untuk menampung mereka,” paparnya.
Ia juga menambahkan faktor penyebab lain yakni adanya kecenderungan para lulusan yang lebih selektif dalam memilih pekerjaan. Banyak lulusan baru yang enggan menerima pekerjaan yang dianggap tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, minat, atau ekspektasi gaji. Mereka lebih memilih menunggu kesempatan yang ideal ketimbang menerima pekerjaan pertama yang tersedia. Di sisi lain, ekspektasi yang tinggi ini belum tentu sejalan dengan realita pasar kerja Indonesia yang belum sepenuhnya mampu menyediakan pekerjaan berkualitas secara merata. Ketimpangan antara harapan dan kenyataan inilah yang memperlebar jurang pengangguran terdidik.
Upaya Menyiapkan Sarjana Siap Kerja
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada ini turut menambahkan perlu adanya langkah strategis yang dilakukan untuk menurunkan jumlah sarjana pengangguran. Pertama, dibutuhkan adanya revitalisasi kurikulum perguruan tinggi. “Perguruan tinggi juga tidak perlu menunggu langkah dari pemerintah, perguruan tinggi dapat melakukan perbaikan kurikulum agar apa yang diajarkan di kelas itu sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan pasar kerja,” paparnya. Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan adalah memperkuat kerja sama antara kampus dan dunia industri. Kurikulum harus melibatkan pelaku usaha dalam perancangannya, agar materi pembelajaran mencerminkan kebutuhan riil lapangan kerja. Program magang wajib dan project-based learning harus diintegrasikan secara lebih sistematis, bukan sekadar formalitas. Dengan begitu, mahasiswa tidak hanya mendapatkan ijazah, tetapi juga pengalaman kerja yang relevan.
Kedua, terkait ketersediaan pasar kerja, pemerintah perlu mendorong industri yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Salah satu solusi mendesak adalah mendorong pertumbuhan industri padat karya modern dan sektor ekonomi kreatif yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, termasuk dari kalangan muda dan lulusan baru. Reformasi regulasi ketenagakerjaan dan penyederhanaan birokrasi investasi sangat krusial untuk mempercepat penciptaan lapangan kerja. Kepastian hukum, kemudahan berusaha, dan insentif bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) harus menjadi prioritas. Dengan menciptakan iklim usaha yang sehat dan produktif, pemerintah tidak hanya mengurangi pengangguran, tapi juga memperkuat fondasi ekonomi nasional secara berkelanjutan.
Ketiga, para sarjana juga harus merubah pandangan terkait selektif yang ketat dalam memilih pekerjaan. Tak sedikit perusahaan juga menyampaikan bahwa mereka kesulitan merekrut tenaga kerja muda karena banyak calon pekerja yang menolak posisi dengan alasan lokasi kerja, jenis pekerjaan, atau bahkan status kontrak yang dianggap tidak menjanjikan. Padahal, bagi sebagian besar pekerja, pengalaman pertama adalah pintu masuk penting untuk membangun karier dan kompetensi profesional. “Kita boleh untuk selektif namun kita juga bisa membuat road map terkait bidang apa saja yang bisa dicoba. Sehingga kita dapat memiliki pengalaman yang dapat digunakan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik,” pungkasnya. []szl
Be the first to comment