Laura Amandasari: Kisah Nyata Toleransi di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Laura Amandasari Kisah Nyata Toleransi di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Laura Amandasari Kisah Nyata Toleransi di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Laura Amandasari, nama ini mungkin akan selalu melekat dengan narasi tentang keberagaman dan toleransi di kampus. Wisudawati Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini bukan sekadar meraih gelar sarjana pada Selasa, 8 Juli 2025.

Ia membawa pulang sebuah kisah yang jauh lebih dalam, tentang bagaimana sebuah Perguruan Tinggi Muhammadiyah’Aisyiyah (PTMA) bisa menjadi “rumah kedua” bagi siapa pun, terlepas dari latar belakang agama.

Laura, seorang Kristiani Protestan, awalnya diliputi keraguan saat memutuskan melanjutkan studi di UMSU. Kekhawatiran akan berbeda, yang seringkali menjadi tembok pembatas, justru sirna saat ia melangkahkan kaki di kampus tersebut.

“Awalnya saya ragu karena perbedaan, tetapi saya justru menemukan rumah kedua di UMSU. Kampus ini tidak hanya menjadikan toleransi sebagai jargon, tetapi sebagai praktik nyata,” tuturnya dengan mata berbinar.

Pengalamannya di UMSU tak hanya sebatas duduk di bangku kuliah. Laura aktif berorganisasi, menjabat sebagai Sekretaris Komunitas Peradilan Semu (KPS) FH UMSU periode 2023-2024. Ini membuktikan bahwa kesempatan berkreasi dan berkarya terbuka lebar bagi semua siswa, tanpa diskriminasi.

Fenomena Laura bukanlah anomali. Banyak mahasiswa non-Muslim lain di UMSU yang merasakan perlakuan yang sama. Diterima dengan baik, tanpa diskriminasi, dan merasakan keadilan serta toleransi yang benar-benar diterapkan, bukan sekadar menempelkan promosi kampus.

“Saya Laura, disini bukan mewakili diri saya sendiri tentunya, tapi juga ingin menggambarkan kisah saya yang saya yakin mewakili teman-teman sekalian,” imbuhnya, menegaskan bahwa suaranya adalah representasi dari banyak suara lain yang merasakan hal serupa.

Memilih UMSU, bagi Laura, didorong oleh reputasi kampus yang sudah terakreditasi unggul. Sebuah pesan kuat dari guru SMA-nya untuk tidak “menurunkan peringkat” dalam memilih perguruan tinggi. Namun, kekhawatiran orang tuanya akan nasib putrinya di kampus Muhammadiyah sempat membayangi.

“Pak, aku enggak dikucilkan. Aku diterima di sini,” kenang Laura saat menenangkan ayahnya. “Dan memang benar kekhawatiran saya pelan-pelan itu terbukti. Karena apa? Saya diterima memang dan bapak saya mulai memahami bahwa di sini tidak ada ruang untuk diskriminasi.”

Pengalaman ini mengukuhkan bahwa keunggulan UMSU tidak hanya pada kualitas akademik, tetapi juga pada kemampuannya merangkul keberagaman.

Salah satu momen yang tak terlupakan bagi Laura adalah program wakaf Al-Qur’an pada Bulan Ramadhan 2024. Baginya, ini bukan sekadar pengalaman iman lintas, tetapi pembelajaran tentang kebersamaan, toleransi, dan kemanusiaan.

“Sebab pada akhirnya yang paling dikenang adalah bukan pencapaian atau kebaikan, namun kebaikan yang tertinggal saat kita pergi,” tegasnya, refleksi mendalam tentang nilai-nilai yang ia dapatkan.

Laura menambahkan, “Jika teman-teman pernah mendengar kalimat toleransi di kampus kita, ini bukan hanya sebuah jargon tapi nilai indah yang diimplementasikan oleh UMSU”.

UMSU membuktikan bahwa ilmu tidak hanya membentuk intelektualitas, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur seperti rasa hormat, kasih, toleransi dan fondasi esensial untuk membangun peradaban damai di masa depan.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*