PCIM Jepang: Sinar Terang Muhammadiyah di Jepang

Penandatanganan kerja sama PCIM Jepang dengan CICC.

Ketika Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Jepang pertama kali didirikan pada Agustus 2007, anggotanya hanya sejumlah lima orang yang terdiri atas tiga mahasiswa, satu diaspora, dan satu orang Jepang. “Sejak saat itu, PCIM Jepang terus berkembang dan mengalami perubahan,” ujar Muhamad Firdaus M Eng, Ketua PCIM Jepang periode 2020–2022. Perkembangan tersebut meliputi penambahan jumlah anggota, peningkatan aktivitas, dan kegiatan-kegiatan, serta penyebaran informasi kepada masyarakat mengenai keberadaan PCIM Jepang. Salah satu pengakuan keberadaan diberikan oleh KBRI Indonesia di Jepang, sebab kini PCIM Jepang selalu diundang menghadiri kegiatan-kegiatan KBRI.

PCIM Jepang memiliki tiga ranting yang tersebar di seluruh wilayah Jepang, tepatnya Kota Fukuoka, Hiroshima, dan Kansai. Tiap-tiap ranting kira-kira terdiri atas 15–20 orang, baik anggota yang memiliki izin tinggal permanen maupun tidak. “Sebelumnya, PCIM Jepang punya kendala keberlangsungan program, karena anggotanya kebanyakan mahasiswa yang tinggalnya sementara. Tetapi, Alhamdulillah, sejak dua tahun yang lalu, residen permanen juga menjadi anggota, sehingga setidaknya pengurus tidak hilang seluruhnya,” papar Firdaus. Sebelumnya, PCIM Jepang menemui kesulitan ketika kembalinya mahasiswa-mahasiswa ke Indonesia menjadikan suatu program kerja tidak dapat dilanjutkan karena tidak adanya pengurus. Namun, kini, dengan adanya residen permanen untuk melanjutkan program kerja tersebut, maka masalah itu dapat teratasi.

PCIM Jepang di Tengah Masyarakat

Ketika PCIM Jepang melalui tahun-tahun awal semenjak pendiriannya, prioritas kegiatan yang dilakukan adalah untuk membuat PCIM Jepang menjadi lebih dikenal orang. “Soalnya, masih banyak orang yang merespons dengan, ‘Oh, ternyata ada Cabang Muhammadiyah di Jepang?’ seperti itu,” ungkap Firdaus. Pandangan inilah yang masih digiatkan oleh PCIM Jepang.

PCIM Jepang pun mengambil peran di Jepang, seperti turut berdonasi ketika ada bencana alam, melalui pengumpulan donasi atau pengadaan aktivitas sosial. Selain itu, mereka juga tetap berupaya menjaga kontak dan memberi kontribusi bagi Indonesia. “Misalnya, setiap tahun kami mengumpulkan dana kurban dari orang-orang Muslim di Jepang, lalu disalurkan ke Indonesia,” ujar Firdaus. 

PCIM Jepang.

Menjalin Kerja Sama dengan Berbagai Pihak

PCIM Jepang juga melakukan kerja sama dengan institusi Islam di Jepang, yakni Chiba Islamic Cultural Center (CICC) dalam bidang pendidikan dan kemanusiaan. “Kerja samanya juga mencakup pertukaran budaya antara Indonesia dan Jepang,” tambah Firdaus.

Tidak hanya CICC, PCIM Jepang secara rutin bersilaturahmi ke Japan Muslim Association (JMA) dan Keluarga Mahasiswa Islam Indonesia (KMII). PCIM Jepang dan KMII banyak bekerja sama dalam melaksanakan program-program dakwah, seperti Tabligh Akbar, pengadaan zakat fitrah/maal/kurban, dan banyak lainnya untuk memperkuat keberadaan PCIM Jepang agar lebih dikenal oleh masyarakat.

Kebanyakan mahasiswa aktif di PCIM Jepang juga merupakan anggota di Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang. “Mereka turut membantu kegiatan-kegiatan di PCIM Jepang, seperti menjadi moderator atau pembawa acara. Jadi, walaupun tidak ada relasi secara organisasi, ada kolaborasi antara keduanya,” Firdaus menyimpulkan.

Berusaha Adaptif di Kala Pandemi

Pemerintah Jepang telah membuat aturan protokol kesehatan mengenai adanya pandemi Covid-19. PCIM Jepang sepenuhnya mengikuti aturan tersebut dengan menyesuaikan mekanisme pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang sebelumnya biasa dilakukan. Sebelumnya, PCIM Jepang kerap mengadakan temu lintas wilayah untuk berbincang santai bersama. Apabila ada waktu, silaturahmi ke rumah-rumah anggota juga dilakukan. “Tapi kalau sekarang, kegiatan itu seratus persen ditiadakan,” ucap Firdaus.

Kegiatan pun beralih menggunakan Zoom Meeting, misalnya pengadaan kajian rutin atau rapat-rapat. Pelaksanaan salat Jumat pun dibatasi jumlahnya, termasuk apabila ada wilayah-wilayah yang belum memperbolehkan diadakannya salat Jumat bersama. 

Kunjungan PPM dan PCIM Jepang ke JMA.

Dakwah Muhammadiyah di Jepang

Divisi dalam PCIM Jepang terdiri atas Ketua, Sekretaris, Bendahara, Majelis Tabligh, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan, Majelis Media dan Informasi, Lembaga Lazis, dan Lembaga Hubungan dan Kerja Sama Internasional. Dakwah bermuhammadiyah di Jepang diwujudkan oleh PCIM Jepang dalam bentuk Kajian Ramadhan, Kajian Besar Islam, dan kajian-kajian rutin setiap Sabtu malam. “Kajian rutin terbagi atas Aqidatul Awwam dan Bulughul Maram,” Firdaus menerangkan. Sementara itu, dari salah satu Ranting dalam PCIM Jepang juga mengadakan kegiatan. Ada kegiatan temu untuk berbincang-bincang santai tiap dua pekan sekali di Hiroshima dan tadarus tiap Subuh di Kansai. 

PCIM Jepang memanfaatkan teknologi digital untuk memperluas kegiatan dakwahnya, yakni melalui media sosial. Sekalipun demikian, hal ini diakui oleh Firdaus belum diupayakan secara maksimal. PCIM Jepang baru sebatas memanfaatkan teknologi digital untuk melakukan live streaming kajian-kajian yang diadakan offline. “Jadi baru sebatas itu saja, belum melakukan kegiatan dakwah ke arah sana. Niatan itu ada, tetapi banyak hambatannya,” sebut Firdaus.

Salah satu hambatan untuk merentangkan sayap dakwah Muhammadiyah di Jepang hadir di anggota-anggota PCIM Jepang sendiri. Kebanyakan anggota adalah orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Muhammadiyah secara kultural, misalnya bersekolah di sekolah Muhammadiyah, memiliki kerabat seorang aktivis Muhammadiyah, dan lain-lain. Hal itu menjadi evaluasi untuk PCIM Jepang agar memperbanyak pendidikan kader. 

Hambatan lainnya adalah bahasa. “Tidak semua orang PCIM Jepang menguasai bahasa Jepang,” sebut Firdaus. Padahal, menurutnya pribadi, dengan berbahasa Jepang maka akan memudahkan komunikasi dengan orang Jepang, yang membuat kegiatan mempromosikan dakwah Muhammadiyah di Jepang menjadi lebih efektif.

Salah satu PR besar bagi PCIM Jepang untuk berdakwah Muhammadiyah adalah meluruskan pandangan mengenai Islam yang terbentuk dari kabar-kabar di televisi dan media lain. “Kebanyakan dari mereka hanya tahu ada perang di Suriah, ada perang di Afghanistan. Jadi perlu ada penjelasan dulu mengenai Islam, baru kemudian mengenai kemuhammadiyahan,” jelas Firdaus. [] RAS

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*