
Potensi besar produksi garam di pesisir selatan Kabupaten Blitar mulai mendapat perhatian serius dari kalangan akademisi. Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur (UPNVJT) bersama Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Lamongan menggandeng Kelompok Usaha Bersama (KUB) Fajar Samudra untuk menghadirkan inovasi garam berkelanjutan.
Program bertajuk “Sinergi Agromaritim untuk Pengembangan Produksi Garam Berkelanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir” ini digagas sejak Juni 2025 dengan dukungan pendanaan dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek RI). Fokus utamanya adalah meningkatkan nilai tambah garam rakyat, mengurangi ketergantungan pada garam krosok, serta membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat pesisir.
Dari Garam Krosok Menuju Produk Bernilai Tinggi
Selama bertahun-tahun, petani garam Blitar Selatan hanya mengandalkan produksi garam krosok yang harganya fluktuatif dan rendah. Ketua Tim Pengabdian UPNVJT, Dr. Wiwik Handayani, menegaskan perlunya intervensi inovasi.
“Produksi garam rakyat punya potensi besar, tetapi nilainya belum maksimal. Kolaborasi ini menghadirkan teknologi ramah lingkungan, diversifikasi produk, dan strategi pemasaran digital agar masyarakat pesisir bisa lebih sejahtera,” jelasnya melalui keterangan tertulis, Sabtu (16/8/2025).

Inovasi yang ditawarkan tidak hanya pada kualitas garam, tetapi juga pengembangan produk turunan. Melalui pendampingan intensif, anggota KUB Fajar Samudra kini mampu menghasilkan varian baru seperti white salt, blue salt, hingga yellow salt, yang memiliki peluang lebih luas di pasar.
Ketua KUB Fajar Samudra, Sukani, mengaku optimistis dengan transformasi ini.
“Dulu kami hanya memproduksi garam krosok. Sekarang, lewat pelatihan, kami bisa membuat garam inovatif dengan standar teknis yang lebih baik. Harapan kami, produk ini bisa menembus pasar regional bahkan nasional,” ujarnya.
Pendekatan Agromaritim dan Ekonomi Biru
Blitar Selatan dikenal memiliki garis pantai sepanjang 45 km dengan potensi produksi garam mencapai 17–25 ton per tahun. Namun, keterbatasan sarana, standar kualitas, serta pemasaran membuat potensi tersebut belum tergarap maksimal.
Melalui pendekatan Sinergi Agromaritim, program ini tidak hanya berfokus pada garam, tetapi juga membuka peluang integrasi dengan komoditas pesisir lain seperti rumput laut. Hal ini, menurut Rino Damara, mahasiswa Agroteknologi UPNVJT, akan membentuk ekosistem usaha baru.
“Integrasi garam dan rumput laut bisa menciptakan rantai usaha berkelanjutan yang memperkuat ekonomi lokal,” katanya.
Sementara itu, dari aspek keberlanjutan, Firra Rosariawari, M.T. menekankan pentingnya produksi ramah lingkungan.
“Kami mengedepankan teknologi bersih yang sesuai kondisi lokal. Prinsip ramah lingkungan menjadi fondasi agar produksi garam tidak hanya ekonomis, tetapi juga berkelanjutan,” jelasnya.
Dari sisi pemberdayaan, Roudlotul Badi’ah, M.M. (ITB-AD Lamongan) menekankan bahwa masyarakat harus menjadi pelaku utama.
“Kami tidak sekadar memberi pelatihan, tetapi membangun kesadaran bahwa garam adalah komoditas strategis. Kolaborasi ini memperkuat kapasitas masyarakat agar lebih mandiri dan mampu bersaing di pasar.”

Selain dosen, mahasiswa turut dilibatkan sebagai agen perubahan. Mereka berperan dalam literasi keuangan, pemasaran digital, hingga inovasi produk turunan.
Ihya Nidarul (Manajemen UPNVJT) fokus pada strategi pemasaran digital agar produk garam Blitar dapat dipasarkan lebih luas. Mohammad Bintang Wibowo (Teknik Lingkungan UPNVJT) mendorong inovasi olahan turunan garam yang bisa segera dimanfaatkan masyarakat. Rino Damara (Agroteknologi UPNVJT) melihat integrasi garam dengan budidaya rumput laut sebagai langkah strategis.
Dengan dukungan mahasiswa, garam Blitar kini dikemas lebih menarik, memiliki logo baru, serta dipasarkan melalui jaringan lintas daerah.
Kolaborasi ini menjadi contoh praktik triple helix, yakni sinergi antara perguruan tinggi, masyarakat, dan pemerintah daerah. Model ini diharapkan tidak hanya memperkuat daya saing ekonomi pesisir, tetapi juga mendukung program nasional swasembada garam.
Wiwik optimistis, Blitar Selatan akan menjadi role model produksi garam modern.
“Pantai Peh Pulo selama ini dikenal karena keindahannya. Melalui program ini, kami ingin menjadikannya ikon produksi garam ramah lingkungan yang berdaya saing tinggi, sekaligus menopang kemandirian bangsa di bidang garam,” pungkasnya.
Dengan langkah ini, pesisir Blitar tidak hanya menawarkan panorama bahari yang memukau, tetapi juga mulai menapaki jalan baru sebagai pusat inovasi garam berkelanjutan di Indonesia.
Be the first to comment