Mohammad Rokib
Alumni Digital Humanities (DHOxSS), Oxford University
Mahasiswa Doktoral Universitas Frankfurt, Jerman
Ketua PCIM (Muhammadiyah Deutschland e.V) Jerman 2020-2022
Penggunaan komputer yang semakin berkembang pada hampir semua lini pekerjaan modern telah menuntut keterampilan baru. Inovasi yang belakangan muncul pada generasi muda pun tak lepas dari komputasi yang mewujud seperti artificial intelligence. Bahkan, ilmu lawas seperti sastra, teologi, filsafat, dan sejarah pun membutuhkan sentuhan komputasional. Apalagi ilmu-ilmu baru tentang, misalnya, pendidikan, komunikasi, media, statistika, hingga matematika. Keterampilan komputasional mutlak diperlukan generasi sekarang dan mendatang.
Untuk mengisi kebutuhan keterampilan tersebut dalam penguatan bidang sosial dan humaniora, banyak kampus di Eropa, Amerika, dan Australia telah membuka program studi (prodi) baru: digital humanities. Tak mengherankan, para mahasiswa yang memang adalah generasi muda kerap membanjiri jurusan ini. Mengapa? Karena program studi ini dipandang adaptif terhadap perkembangan teknologi dengan tetap memegang teguh khasanah keilmuan mapan. Belakangan, prodi ini beradaptasi total dengan kecerdasan buatan, analisis big data, dan realitas virtual. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akademis dan profesional yang terus berkembang.
Sejauh ini, belum banyak universitas di Indonesia yang membuka prodi digital humanities baik di level S-1, S-2, maupun S-3. Padahal, bukan hanya potensi pasar ketertarikan mahasiswa, namun potensi kerja sama dengan PT Luar Negeri sangat terbuka lebar untuk bidang ini. Apalagi, Indonesia memiliki kekayaan ragam hayati dan budaya yang sangat luas sehingga menarik untuk pengembangan dan praktik di bidang ini.
Sedikit diantara keterampilan yang dapat dihasilkan prodi ini adalah sebagai analis data (sosial, budaya, dan politik), pemrograman dan pengkodean, digitalisasi dan pengarsipan, visualisasi data, pengembangan web dan desain, dan lainnya. Berbeda dengan prodi ilmu komputer yang cenderung dekat dengan operasional, maka prodi ini lebih aplikatif karena mengajarkan paradigma sosial budaya dengan kecermatan komputasional.
Dengan keterampilan tersebut, lulusan prodi ini dapat memiliki kompetensi untuk bekerja di banyak sektor seperti analis data, web developer dan aplikasi, analis pasar, penerbitan dan media, desain dan industri kreatif, pendidik dan pengembang kurikulum, pemasaran digital, serta museum dan arsip. Tentu saja peluang-peluang ini hanya sedikit contoh yang saya sendiri menyaksikan lulusan prodi ini mampu serta cakap dalam pekerjaan-pekerjaan kekinian.
Pertemuan pertama dengan lulusan prodi ini saya alami tahun 2020 saat menjadi fellow di Digital Literary Archive di Marbach, Jerman. Mentor saya, Mona Ulrich, adalah lulusan prodi ini dengan minat pada pengelolaan data. Keahliannya dalam olah data komputasional telah mampu mencipta tata kelola baru dalam arsip-arsip lama yang didigitalkan. Selain itu, dia mampu secara komputasional memvisualkan jutaan data yang dianalisis secara cepat untuk kepentingan pengambilan keputusan. Keahlian ini juga sangat diperlukan dalam konteks pekerjaan yang tersedia di Jerman.
Selain contoh itu, tahun 2022 saya bertemu dengan teman yang satu kelas belajar digital humanities di Oxford. Kosentrasi teman saya ini terarah pada analis pasar. Sebelum lulus, dia sudah bekerja di amazon untuk menyediakan informasi dan data tentang kecenderungan calon pembeli produk-produk di amazon. Hal ini termasuk karakter dari pembeli dengan prediksi berapa orang akan membeli produk tertentu minggu depan. Menurutnya, nyaris prediksi tersebut sempurna, dengan fakta bahwa hasil analisanya tidak meleset jauh.
Ada banyak lagi mereka lulusan prodi ini yang justru menciptakan lapangan pekerjaan baru seperti start up ocean friendly bag, analis gerakan ekstrimis, dan tentu analis teks seperti teks sastra, sejarah, dan kitab suci. Di jurusan Islamic studies yang satu fakultas dengan prodi saya, ilmu digital humanities digunakan untuk menciptakan aplikasi rujukan teks keislaman tertentu. Misalnya, ketika kita ingin mengetahui apa saja teks yang bicara tentang topik “puasa“, maka aplikasi tersebut langsung menjabarkan pembahasan puasa di seluruh ayat Alquran, Hadist, dan Tafsir dengan langsung merujuk sumber teks asli serta halamannya. Voila!
Dalam pengalaman pribadi, saya pun mengalami ketakjuban luar biasa saat menganalisis data disertasi. Dengan pendekatan komputasional dalam teks sastra, secara cepat dan cermat, mesin python programming dapat memetakan topik-topik dalam ribuan data teks esai sastra. Sebelumnya, saya memeriksa data secara manual yang membutuhkan waktu dua tahun lebih.
Setelah menempuh training singkat ilmu ini, analisis yang sebelumnya butuh waktu lama dapat dipercepat dengan hasil yang cenderung lebih akurat secara matematis. Namun, tetap ada kekurangan yaitu pada penggalian tafsir atas makna teks yang butuh analisis manusia. Di sinilah ilmu humaniora seperti tafsir teks sastra diperlukan untuk menyempurnakan hasil analisis secara komputasional. Singkatnya, prodi digital humanities ini memang mendesak untuk digelorakan di perguruan tinggi Indonesia.
Be the first to comment