Anomali Lulusan Sarjana “Kok Susah Dapat Kerja?”

Anomali Lulusan Sarjana "Kok Susah Dapat Kerja?"

Kenapa Banyak Sarjana Menganggur?

Setelah perjuangan bertahun-tahun kuliah, mengerjakan skripsi sampai stres, dan akhirnya wisuda, banyak lulusan perguruan tinggi berharap bisa langsung kerja. Sayangnya, kenyataannya berkata lain. Data BPS Februari 2025 mencatat bahwa tingkat kemiskinan terbuka (TPT) lulusan sarjana mencapai 6,23% yang setara dengan lebih dari 1 juta orang atau menyumbang 6,5 persen dari total pengangguran sebanyak 7,28 juta. Ironisnya, angka ini lebih tinggi dibandingkan beberapa jenjang pendidikan di bawahnya. Fenomena berdampak pada banyaknya tenaga kerja lulusan pendidikan tinggi seperti diploma dan sarjana yang terpaksa banting setir mencari profesi pekerjaan seperti pembantu rumah tangga, pengasuh anak, bahkan office boy (pramukantor). 

Pengalaman sulitnya mencari pekerjaan juga dialami Heru Kurniawan, Sarjana lulusan Teknik Mesin Universitas Wahid Hasyim Semarang yang bekerja sebagai driver mobil rental. “Kalau kita itu dicetak menjadi pekerja ya harusnya bisa bekerja. Kita sebagai lulusan universitas, terbelenggu dengan sistem… dianjurkan berpendidikan S1 untuk menopang jenjang karier tapi dunia kerja penuh diskriminasi dan tak sebanyak jumlah lulusannya,” papar Heru Kurniawan, dikutip dari bbc.com.

Pertanyaannya, kenapa fenomena ini dapat terjadi? Apakah terjadi penurunan kualitas lulusan oleh pendidikan tinggi? Atau dunia kerja yang terlalu sempit dan tidak bersahabat?. 

Lapangan Kerja yang Terkonsentrasi di Jawa

Salah satu permasalahan terbesar adalah ketimpangan distribusi lapangan kerja. Sebagian besar industri besar, perusahaan besar, dan startup tumbuh di Pulau Jawa, terutama Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Sedangkan wilayah lain seperti Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua masih minim fasilitas, infrastruktur digital, dan dukungan industri.

Akibatnya, banyak karyawan dari berbagai daerah terpaksa bermigrasi ke kota besar, dan ini menimbulkan dua masalah. Pertama, persaingan kerja jadi semakin ketat. Kedua, kualitas hidup yang menurun karena biaya hidup yang tinggi dan tekanan mental yang meningkat.

Hal ini menjadi sinyal bahwa pembangunan ekonomi Indonesia masih belum merata. Pemerataan kawasan industri, startup digital, hingga UMKM berbasis lokal sangat dibutuhkan untuk menciptakan peluang di luar Jawa.

Kesenjangan Kampus dan Dunia Kerja

Fakta pahit lainnya adalah ketidaksesuaian antara apa yang diajarkan di kampus dan kebutuhan nyata di industri. Banyak mahasiswa menghabiskan waktu kuliah untuk teori, laporan, dan tugas akademik tetapi lulus tanpa keterampilan teknis dan soft skill yang dibutuhkan.

Contohnya, banyak perusahaan sekarang membutuhkan lulusan yang menguasai pemasaran digital, analisis data, atau alat digital lainnya. Selain itu dibutuhkan lulusan yang komunikatif dan kerja tim, berpengalaman melalui program magang atau proyek langsung sehingga masalah di sebagian industri dapat diselesaikan dengan baik.

Sarjana Susah Kerja

Sayangnya, tidak semua kampus mendorong hal tersebut. Masih adanya stigma bahwa IPK tinggi sudah cukup menjadi standar lulusan sarjana. Padahal dunia kerja saat ini juga menuntut mahasiswa untuk “bisa apa” bukan hanya “nilai berapa”. Ketidakselarasan ini menjadi anomali bagi para lulusan sarjana terlebih jika disandingkan dengan kebutuhan industri yang tersedia. 

Tambahan lagi, jurusan populer seperti manajemen, hukum, dan komunikasi terlalu banyak lulusannya, tapi lapangan kerja yang tersedia terbatas. Sebaliknya, sektor strategis seperti pertanian modern, energi terbarukan, atau logistik digital masih kekurangan tenaga ahli.

Terjebak Zona Nyaman

Banyak lulusan yang masih terjebak dalam pola berpikir bahwa kerja = PNS atau kantoran. Padahal di era digital saat ini, peluang kerja tidak hanya datang dari perusahaan atau institusi formal.

Rasio kewirausahaan Indonesia masih rendah, hanya sekitar 3,47%. Itu berarti hanya sedikit sarjana yang berpikir untuk membuat usaha sendiri, padahal platform dan tools digital sudah sangat memudahkan. Misalnya, jualan online via marketplace, jadi freelancer atau content writer atau bangun bisnis jasa sesuai bidang kuliah.

Masalahnya bukan hanya kurang ilmu bisnis, tapi juga takut gagal dan tidak pernah mengajarkan cara mencoba. Padahal dunia kerja masa depan menantang dan keberanian mencoba jalan alternatif, bukan hanya jadi pencari kerja tapi juga pencipta kerja.

Dampak Psikologis & Perubahan Pola Pikir

Fenomena “sarjana rebahan” bukan lagi sekadar lelucon di media sosial, tapi kenyataan pahit yang dialami banyak lulusan. Desakan untuk segera bekerja, rasa gagal karena belum produktif, hingga stigma dari lingkungan membuat mereka merasa tidak berdaya. 

Banyak yang akhirnya kembali ke rumah orang tua tanpa arah, bingung harus mulai dari mana. Dunia kerja yang ketat dan tidak ramah bagi pemula membuat kondisi mental mereka semakin tertekan, bahkan tidak jarang memicu stres dan kecemasan berkepanjangan.

Meski begitu, situasi ini bukan tanpa jalan keluar. Pendidikan tinggi perlu bertransformasi menjadi lebih adaptif, misalnya dengan membangun kerja sama erat bersama industri, memperbarui kurikulum agar lebih berbasis praktik, serta mewajibkan program magang yang nyata. 

Di sisi lain, pemerataan infrastruktur dan lapangan kerja digital di luar Pulau Jawa juga sangat penting agar tidak semua sarjana gagal di kota besar. Program pelatihan seperti Kartu Pra Kerja perlu terus dikembangkan agar lebih relevan dengan tren digital masa kini. 

Dan yang tak kalah penting, pola pikir lulusan perlu diubah kerja layak tak selalu berarti menjadi pegawai kantoran, tetapi bisa juga berupa usaha mandiri, kerja lepas, atau kontribusi produktif lainnya yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Penutup: Sarjana Adalah Titik Awal, Bukan Akhir

Jadi sarjana adalah prestasi besar. Tapi zaman sudah berubah. Gelar saja tidak cukup, yang dibutuhkan adalah kemampuan adaptif, keterampilan praktis, dan semangat untuk terus belajar.

Kita perlu berhenti berpikir bahwa semua akan bermanfaat setelah kebijaksanaan. Nyatanya, itu hanyalah awal dari perjuangan yang sebenarnya. Tapi dengan dukungan sistem yang tepat dan pola pikir yang terbuka, kita bisa mengubah situasi ini. Bukan hanya jadi pencari kerja, tapi pencipta peluang. [] zy, apr

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*