Juliana, Lulusan UM Jambi yang Menjaga Adat Suku Anak Dalam Lewat Pendidikan

Juliana, Alumni UM Jambi yang Mengangkat Martabat Suku Anak Dalam
Juliana, Alumni UM Jambi yang Mengangkat Martabat Suku Anak Dalam

Bagi sebagian orang, melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi adalah hal biasa. Namun, bagi Juliana, perempuan muda dari Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi, langkah itu adalah sebuah sejarah baru. Dengan tekad kuat dan dukungan penuh orang tuanya, ia berhasil menjadi sarjana pertama dari komunitasnya.

Lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Jambi (UM Jambi) ini membuktikan bahwa pendidikan formal bukan untuk meninggalkan adat, melainkan untuk menjaganya.

Memutuskan untuk menempuh pendidikan tinggi hingga ke kota adalah pilihan yang penuh tantangan bagi Juliana. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan yang jauh berbeda dari kehidupan di rimba.

Juliana menamatkan studinya di Fakultas Kehutanan UM Jambi. Keputusan ini bukan sekadar mimpi pribadi, melainkan jalan untuk menjaga adat dan identitas leluhurnya. “Saya kuliah bukan untuk melawan adat, tapi untuk menjaga adat kami dengan ilmu,” ujarnya.

Menempuh pendidikan tinggi di kota bukan perkara mudah bagi Juliana. Ia harus meninggalkan kehidupan rimba yang akrab dengan tradisi nomaden, lalu beradaptasi dengan suasana perkotaan yang serba baru. Tantangan tak hanya datang dari lingkungan luar, tetapi juga dari sebagian anggota komunitasnya sendiri yang masih skeptis dengan pendidikan formal.

“Ada yang bilang percuma sekolah tinggi-tinggi, karena tidak akan mengubah apa-apa. Tapi saya ingin membuktikan bahwa ilmu bisa memperkuat adat, bukan sebaliknya,” tutur Juliana.

Namun, Juliana tak gentar. Ia kini fokus mengembangkan usahanya sendiri, yaitu mengolah dan memasarkan produk ikan asap khas Suku Anak Dalam. Baginya, ini adalah cara untuk melestarikan tradisi leluhur sekaligus mengikis stigma negatif yang kerap melekat pada komunitasnya.

Juliana bersama kelompoknya mengolah produk ikan asap dari ikan patin tradisi Suku Anak Dalam

Juliana memimpin kelompok perempuan bernama Mina Hasop Eluk untuk mengolah produk ikan asap. Dengan harga Rp 20.000 per bungkus seberat satu ons, mereka tidak hanya menjual produk, tetapi juga menawarkan cerita di baliknya.

Tantangan terbesar yang dihadapi Juliana adalah mengubah pandangan masyarakat yang menganggap produk mereka kurang higienis. Untuk mengatasi hal ini, ia berupaya keras memastikan produknya memenuhi standar kualitas.

Mina Hasop Eluk telah mengantongi izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), dan kini sedang dalam proses mengurus sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Produk ikan asap mereka saat ini dipasarkan melalui toko-toko lokal dan berbagai pameran yang diadakan pemerintah atau kelompok masyarakat sipil.

Ke depan, Juliana bercita-cita agar produk mereka bisa masuk ke minimarket dan toko oleh-oleh khas Jambi, meskipun ia menyadari tantangan yang akan dihadapi: harus mampu memproduksi dalam jumlah yang lebih besar.

Kisah Juliana adalah bukti nyata bahwa pendidikan adalah jembatan untuk kemajuan tanpa harus melupakan akar. Ia adalah inspirasi bagi banyak orang, menunjukkan bahwa dengan ilmu, tradisi dapat dijaga, stigma dapat dikikis, dan kesejahteraan dapat diupayakan. []tz

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*