Bencana Sumatra dan Kerentanan Perempuan, Anak, serta Lansia

Bencana Sumatra dan Kerentanan Perempuan, Anak, serta Lansia
Islamiyatur Rokhmah, Ketua Pusat Studi Perempuan Keluarga dan Bencana Unisa Yogyakarta

Rentetan bencana hidrometeorologi yang melanda Sumatra sepanjang November 2025 meninggalkan jejak duka yang dalam. Banjir bandang dan tanah longsor menghantam tiga provinsi—Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh—secara beruntun, menjadikan bulan itu sebagai periode paling kelam dalam beberapa tahun terakhir.

Laporan hingga 29 November mencatat jumlah korban meninggal mencapai ratusan jiwa. Sumatra Utara menanggung dampak terparah dengan 166 korban jiwa, disusul Sumatra Barat dengan 90 orang meninggal, sementara Aceh mencatat 47 korban jiwa dan puluhan lainnya masih hilang. Ribuan warga terpaksa meninggalkan rumah yang rusak atau tenggelam, memadati titik-titik pengungsian darurat.

Namun di balik angka-angka tersebut, ada sisi lain yang sering luput dari sorotan: kerentanan perempuan, anak, dan lansia yang menghadapi tekanan psikologis maupun fisik berlipat ganda.

Kesunyian Derita di Tenda Pengungsian

Di berbagai titik pengungsian di Sumatra Utara dan Aceh, situasi memprihatinkan terlihat nyata. Tenda-tenda darurat yang penuh sesak menyimpan kisah pilu yang jarang terdengar.

Ibu-ibu kesulitan mendapatkan kebutuhan dasar seperti pembalut dan perlengkapan bayi; susu formula terbatas; fasilitas mandi dan sanitasi tidak memadai; sementara remaja putri harus mengatur privasi seadanya. Kondisi ini menciptakan beban berlapis bagi perempuan yang tetap harus menjaga keluarganya di tengah situasi penuh keterbatasan.

Anak-anak pun menghadapi trauma mendalam. Sekolah yang rusak, buku yang hanyut, serta hilangnya ruang aman untuk bermain membuat mereka rentan terhadap tekanan psikososial jangka panjang. Banyak dari mereka menangis di malam hari, sebuah tanda yang menunjukkan betapa besarnya beban emosi akibat bencana.

Menurut Islamiyatur Rokhmah, Ketua Pusat Studi Perempuan Keluarga dan Bencana (PSPKB) Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, bencana di Sumatra membuka kembali perdebatan mengenai relasi manusia dengan alam. Ia menilai bahwa kerusakan lingkungan, deforestasi, dan pembangunan yang mengabaikan analisis risiko turut memperparah dampak bencana.

“Ini bukan semata musibah, tetapi cermin dari terganggunya keseimbangan alam,” tegasnya.

Ia juga menekankan perlunya pendekatan kebencanaan yang berperspektif gender dan ramah anak, karena kelompok rentan menghadapi risiko yang lebih tinggi. Layanan seperti ruang laktasi, sanitasi aman, serta dukungan psikososial seharusnya menjadi standar dalam manajemen bencana, bukan tambahan.

Bencana Sumatra 2025 menjadi pengingat keras bahwa mitigasi bencana harus menyasar akar masalah. Pengelolaan lingkungan harus diperbaiki, tata ruang diperketat, dan kebijakan pembangunan mesti mempertimbangkan daya dukung alam.

Islamiyatur mengingatkan bahwa alam tidak pernah “membenci” manusia; ia hanya memberi tanda ketika keseimbangannya terusik. Banjir, longsor, dan cuaca ekstrem menjadi peringatan agar semua pihak—pemerintah, masyarakat, hingga akademisi—mengambil langkah nyata untuk memperbaiki hubungan dengan bumi.

“Ketika alam menegur, ia tidak hanya merusak tanah. Ia juga menggugah nurani kita agar segera berbenah,” ujarnya.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*