AIK, Riset, dan Pengabdian: Nafas Panjang Kampus Muhammadiyah

AIK, Riset, dan Pengabdian: Nafas Panjang Kampus Muhammadiyah
AIK, Riset, dan Pengabdian: Nafas Panjang Kampus Muhammadiyah

Ada yang tidak boleh dilupakan dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA). Bukan hanya infrastruktur atau jumlah mahasiswanya yang ribuan, tetapi ruh yang menghidupkannya. Dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Kamis (12/6/2025), Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Irwan Akib menyebutkan: AIK, penelitian, dan pengabdian masyarakat adalah roh dan jantung PTMA.

“Jadi bukan soal berapa SKS AIK-nya. Bukan hanya tentang administrasi atau kurikulum. Ini soal nafas kehidupan kampus kita,” ujar Irwan saat membuka Rakornas yang berlangsung di Balikpapan.

Menurut Irwan, keberadaan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) tak bisa direduksi hanya pada angka-angka atau beban studi. Begitu pula dengan penelitian dan pengabdian masyarakat, keduanya menjadi bagian vital yang harus dijaga, diberi oksigen melalui dukungan anggaran dan kebijakan, agar tetap mengalirkan energi bagi PTMA di seluruh Indonesia.

Dalam forum itu, Irwan juga mengajak peserta Rakornas menengok kembali akar historis berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah. Ia mengutip pandangan Prof. Nakamura bahwa pendidikan Muhammadiyah dirancang sejak awal sebagai institusi yang memadukan nasionalisme, nilai-nilai keislaman, dan penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.

“Sekarang tinggal bagaimana kita mengambil inspirasi dari tokoh-tokoh kita terdahulu, lalu kita kembangkan sesuai kebutuhan zaman,” kata Irwan. Ia menyinggung jejak Kiai Ahmad Dahlan yang telah mendirikan Madrasah Diniyah Islamiyah di rumahnya pada 1911, setahun sebelum Muhammadiyah lahir. Dari situlah semangat pendidikan Muhammadiyah bersemi, menjelma menjadi ratusan sekolah dan kemudian perguruan tinggi.

Tak banyak yang tahu, ujar Irwan, bahwa ide pendirian perguruan tinggi Muhammadiyah sudah ada sejak 1920. Gagasan ini dicetuskan oleh Kiai Hisyam, tokoh penting di Bahagian Pengajaran Hoofdbestuur Muhammadiyah, jauh sebelum infrastruktur dan sumber daya mencukupi.

“Bayangkan, Universitas Muhammadiyah sudah dirancang di tahun 1920, dalam kondisi serba terbatas. Ini membuktikan bahwa pikiran-pikiran besar di Muhammadiyah sudah muncul sejak awal,” katanya.

Walau baru terealisasi pada 1955 dengan berdirinya Perguruan Tinggi Hukum dan Filsafat Muhammadiyah di Padang Panjang, yang kemudian pindah ke Jakarta dan menjadi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), visi besar itu tidak pernah padam.

Kini, lebih dari seratus kampus Muhammadiyah berdiri di berbagai penjuru negeri. Namun Irwan mengingatkan, semua pencapaian itu hanya akan punya makna jika ruh dan jantungnya tetap berdetak: AIK yang kuat, riset yang hidup, dan pengabdian yang menyatu dengan masyarakat. []ic

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*