
Konsep Kampus Berdampak menjadi tema penting yang diangkat Ketua Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Bambang Setiaji, dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Bidang Al Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK), Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat, Kamis (12/6/2025), di Balikpapan.
Program Kampus Berdampak sendiri merupakan inisiatif yang baru saja diluncurkan oleh Kemendikbudristek sebagai respon terhadap tantangan pendidikan tinggi dari sisi kualitas, relevansi, dan kontribusi nyata ke masyarakat. Muhammadiyah, melalui jejaring 163 Perguruan Tinggi Muhammadiyah ’Aisyiyah (PTMA) per Mei 2025, merespons program ini dengan pendekatan khas yang terbagi dalam tiga wujud utama: keagamaan, sosial-politik, dan ekonomi.
Menurut Bambang, dalam perspektif keagamaan, PTMA harus mampu melahirkan masyarakat modern yang tetap berpijak pada nilai-nilai religius. “Kita sedang menghadapi era industrialisasi, robotik, dan kecanggihan teknologi, tetapi semua itu tidak boleh menjauhkan kita dari nilai-nilai Islam,” tegasnya.
Pada dimensi sosial-politik, Kampus Berdampak ditafsirkan sebagai kampus yang menghasilkan masyarakat yang demokratis, toleran, tertib, patuh hukum, terdidik, sehat, dan berdaya. “Ini adalah kontribusi PTMA dalam membangun masyarakat sipil yang matang secara sosial dan politik,” tambahnya.
Sementara itu, di bidang ekonomi, Bambang menekankan pentingnya membangun generasi wirausaha yang tangguh. PTMA, menurut Bambang, memiliki tanggung jawab strategis dalam menumbuhkan semangat kewirausahaan di kalangan mahasiswa. “Jumlah wirausahawan kita masih kecil. Ini pekerjaan besar bagi kampus-kampus Muhammadiyah untuk menjawabnya,” ujarnya.
Namun demikian, Bambang menegaskan bahwa ketiga manifestasi Kampus Berdampak tersebut tidak akan berjalan tanpa dukungan riset yang kuat. Ia menyoroti minimnya alokasi dana riset di Indonesia, khususnya dalam konteks dunia Islam. Berdasarkan data International Monetary Fund (IMF), Indonesia hanya mengalokasikan sekitar 3,968 juta USD untuk riset. Angka tersebut jauh tertinggal dibanding negara-negara seperti Amerika Serikat (932 miliar USD) dan Tiongkok (430 miliar USD).
“Bayangkan, anggaran riset Amerika itu hampir lima kali lipat dari APBN kita. Bahkan efektivitas riset di Cina sepuluh kali lebih baik daripada di AS,” ungkap Bambang. Ia juga mencatat bahwa anggaran riset Indonesia masih kalah jauh dari Singapura, bahkan Thailand.
Melihat kenyataan itu, Bambang mendorong PTMA untuk berani melakukan lompatan besar. Terutama dengan cara memanfaatkan hasil riset dari negara lain sebagai landasan percepatan industrialisasi di Indonesia. Menurutnya, hal ini adalah langkah realistis sekaligus strategis dalam menghadirkan Kampus Berdampak yang betul-betul mampu menyentuh aspek kehidupan masyarakat secara luas. []ic
Be the first to comment