
Dalam bedah buku Gerakan Islam Berkemajuan yang digelar di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) pada 20 Desember 2024, Bambang Setiaji, Ketua Majelis Pendidikan Tinggi dan Penelitian (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ditunjuk sebagai salah satu pembedah.
Bambang Setiaji, yang juga dikenal sebagai Guru Besar Ekonomi, menyoroti kegelisahan Haedar Nashir terkait dengan masalah ekonomi di dalam tubuh Muhammadiyah. Meskipun Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi dengan aset yang mencapai triliunan rupiah, Bambang mencatat bahwa kekayaan tersebut justru tidak berpusat di PP, melainkan tersebar di berbagai Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) dan umat.
Potensi ekonomi ini, menurut Bambang, sangat perlu untuk dikonsolidasikan agar Muhammadiyah dapat lebih maksimal berperan dalam perekonomian nasional. Melihat bahwa bahwa para kader Muhammadiyah tersebar luas di berbagai sektor, dari korporasi besar hingga usaha kecil. Di tempat-tempat inilah, Muhammadiyah memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
“Jika kita melihatnya dari sudut ini, sebenarnya peran Muhammadiyah dalam ekonomi sangat besar. Meskipun yang ada di tangan kita hanya satu persen, yang ada di tangan umat kita bisa seratus kali lipat lebih besar,” ujar Bambang.
Kegelisahan kedua yang ditemukan Bambang dalam buku Haedar Nashir adalah soal keberadaan Muhammadiyah dalam konstelasi demografi Indonesia. Berdasarkan survei yang ada, jumlah warga Muhammadiyah masih terbilang minoritas. Namun, Bambang mengkritik data tersebut, karena menurutnya angka tersebut tidak sepenuhnya benar.
Bambang merujuk pada pemikiran Clifford Geertz, bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan modern tidak banyak diikuti oleh masyarakat petani. Masyarakat petani lebih cenderung berafiliasi dengan Gerakan Islam tradisional.
Namun, seiring berjalannya waktu, kelompok petani ini semakin menurun jumlahnya, mereka jumlahnya saat ini berkisar 28 persen. Sementara 72 persen adalah kelompok masyarakat non petani, bisa jadi pengusaha, birokrat, dan lain sebagainya menjadi mayoritas.
Dalam pandangan Bambang, jika pemikiran Clifford Geertz benar, perubahan ini akan terus berlanjut. Berpotensi menjadikan kelompok masyarakat petani akan habis. Perubahan itu tentu juga akan berimplikasi pada semakin kecilnya jumlah umat yang terafiliasi dengan Gerakan Islam tradisional tadi.
Jadi ke depan jika pertaniannya turun sepuluh persen, mungkin sampai lima persen, maka Muhammadiyah lah di era modern menjadi mayoritas,” ungkapnya.
Namun demikian penambahan jumlah itu tidak serta-merta. Sebab Muhammadiyah memiliki tantangan bagaimana Muhammadiyah dapat mengakomodasi dan merangkul kelompok-kelompok yang lebih heterogen. Seperti mereka yang datang dari latar belakang pertanian atau sektor tradisional. Hal ini pun selaras dengan alam pikiran Muhammadiyah.
Melihat kondisi ini, Bambang mengutip pesan Buya Syafii Maarif yang berharap agar Muhammadiyah menjadi “tenda besar” yang inklusif. Muhammadiyah harus terbuka dan merangkul semua kalangan. Harus mampu bekerja sama dengan berbagai pihak, baik dari kalangan internal maupun eksternal, untuk mencapai tujuannya dalam membawa kemajuan bagi umat dan bangsa, itulah Muhammadiyah, kata Bambang.
Dengan mengangkat dua kegelisahan ini, Haedar Nashir dalam bukunya menantang kita untuk berpikir lebih dalam tentang bagaimana Muhammadiyah dapat berperan lebih besar, baik dalam perekonomian maupun dalam membangun masa depan yang lebih inklusif dan progresif. Buku ini bukan hanya menjadi karya intelektual. Tetapi juga sebuah ajakan untuk merefleksikan posisi Muhammadiyah di tengah dinamika sosial dan ekonomi yang terus berkembang. []ic
Be the first to comment