“Awal kuliah, saya tidak pernah terpikirkan menjadi seorang pendidik, guru pun tidak, apalagi dosen. Karena pada saat itu saya memiliki bengkel kecil dan bertujuan untuk mengembangkan bengkel tersebut saja,” begitu pungkas Prof Dr Muji Setiyo, ST MT, mengawali kisahnya sebagai Dosen Prodi Studi Mesin Otomotif UM Magelang (UNIMMA) yang berhasil memperoleh gelar Guru Besar Termuda di Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA) tahun 2021. Menginjak tepat di usia 38 tahun, bapak tiga orang anak ini tercatat sebagai profesor ketiga UNIMMA dan berhasil mendapatkan gelar tersebut dengan masa kerja hanya 11 tahun. Menyandang sebagai GB termuda tidak membuat Prof Muji puas akan ilmu. Saat ini ia kembali aktif kuliah di UM Yogyakarta dengan mengambil profesi insinyur. “Walaupun saya sudah selesai S-3 saat ini, saya tetap kuliah lagi dan mengambil Program Profesi Insinyur di UMY untuk belajar lagi meningkatkan pengalaman dan teman,” pungkasnya. Bersama Warta PTM, Prof Muji menceritakan awal mula perjalanannya menjadi akademisi hingga tips dan trik sebagai Guru Besar Termuda di PTMA.
Jadi Pribadi yang Bermanfaat
“Saya ingin menjadi pribadi yang bermanfaat bagi yang lainnya,” begitu prinsipnya seolah mencerminkan salah satu hadits yang menyebutkan “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. Motivasi ini ia bangun agar dapat memberikan kontribusi yang lebih banyak pada dunia saintifik dan juga kepada masyarakat. Begitu Pula perannya sebagai seorang dosen yang ia terapkan pada penelitian dan riset yang digunakan pada materi ajar sehingga dapat mentransfer pengalaman otentik pada mahasiswanya. “Saya menulis artikel dari riset-riset saya agar penelitian yang saya lakukan bersama tim dapat dinikmati oleh masyarakat dalam bentuk pengetahuan baru dan dapat mendorong adanya riset lanjutan,” begitu pungkasnya. Tidak hanya itu, Prof Muji juga aktif dalam program pengabdian masyarakat di beberapa daerah binaan di Temanggung dan Magelang. Kecintaannya terhadap penelitian dan pengabdian masyarakat memang menjadi penguat utama bagaimana Prof Muji terus giat menjadi pejuang akademisi. Tak heran, ia kerap disodorkan berbagai amanah dan kepercayaan, di antaranya menjadi Ketua LPPM UNIMMA, Fasilitator Publikasi untuk membantu Kementerian, Tim Advokasi Jurnal LLDIKTI 6, Divisi Publikasi di Konsorsium LPPM PTMA Indonesia, sebagai editor jurnal terindeks scopus dan masih banyak amanah lainnya.
Pembagian Waktu
Prof Muji membenarkan bahwa dalam menyelesaikan amanah tidak hanya apik dalam membagi waktu namun juga perlu memiliki metode kerja yang baik. “Kita diberikan jatah waktu yang sama 24 jam dengan kekuatan tubuh yang sebenarnya relatif sama, namun yang berbeda adalah bagaimana metode kerjanya,” begitu tegasnya. Metode ini tidak serta merta ia dapatkan, dibutuhkan jam terbang dan latihan yang terus ia ulang sejak dahulu sehingga dapat menjadi ritme yang baik dalam menyelesaikan tugas dan amanah yang ia emban. “Contoh real pada saat awal menulis artikel atau paper, saya membutuhkan waktu berbulan-bulan namun karena terus berlatih waktu kerja tersebut dapat dipangkas,” paparnya. Tidak hanya itu, ia juga kerap terbiasa dalam menargetkan hal apa saja yang harus ia lakukan setiap harinya. Hal ini berimplikasi agar pembagian waktu dan pekerjaan yang ia lakukan dapat terinci dan selesai dan lebih efisien.
Pentingnya Career Planning
“Sebenarnya kunci sukses dosen PTMA itu ada di career planning,” tegas Prof Muji saat diberikan pertanyaan bagaimana tips dan trik menjadi guru besar. Kebanyakan visi yang terbentuk hanya pada tingkat universitas, fakultas, dan prodi, namun jarang sekali dosen memiliki visi pribadi atau sebuah career planning. “Jika ada kebijakan khusus bahwa semua dosen PTMA harus punya visi misalnya menjadi guru besar tahun 2030 atau pada masa kerja 15 tahun dan visi ini diturunkan pada program kerja real pada bidang inovasi pembelajaran, riset yang menghasilkan output, pengabdian yang berorientasi mitra dan AIK serta mengadvokasi mahasiswa dan dibagi tiap tahun, maka PTMA akan menjadi sangat kuat,” paparnya dengan semangat. Career planning, ungkapnya dapat memudahkan kerja yang terarah, hemat dari sisi anggaran, kerja dengan tetap sasaran, akreditasi unggul, dan terpenting yaitu dosen memiliki perencanaan yang baik. Visi dosen harus terkorelasi dengan visi di fakultas juga universitas. “Pada saat saya masuk S-3 saya sudah menentukan bagaimana langkah kedepannya, riset yang bagaimana, lalu memahami pedoman angka kredit, apa yang harus saya lakukan menjadi dosen, di situ kuncinya,” tandasnya. Ia juga menegaskan agar dosen paham dan hafal pedoman operasional angka kredit, bukan berarti mencari kredit semata namun dosen yang memahami angka kredit ini akan paham pula efek yang didapatkan ketika melaksanakan tri dharma dengan baik.
Guru Besar Perlu Artikel yang Berbobot
Menjadi guru besar itu tidak semata menghitung angka kredit mencapai 850 karena jika itu yang dituju maka akan menjadi mudah. Hal yang penting adalah artikel atau substansi sebagai identitas kepakaran seorang dosen yang juga harus berbobot. “Artikel yang kita tulis harus mampu mengambil hati editor internasional bereputasi tinggi sehingga artikel kita dapat diterbitkan di jurnal kuartil yang lebih tinggi,” pesannya. Artikel yang berbobot tersebut tentu akan mewakili identitas keilmuan. Artikel juga harus ditulis sendiri, dari riset yang dipimpin sendiri, sehingga ada kepuasan di sana. Dapat disimpulkan bahwa dua hal penting selain kecukupan angka kredit yaitu adanya bobot ilmiah dari artikel yang digunakan sebagai persyaratan khusus. Ia juga berpesan agar PTMA dapat memiliki instrumen baku yang disebut dengan evaluasi kinerja akademik dosen. “Banyak orang yang sudah bekerja 10 tahun, namun pengalaman kerjanya hanya 1 kali diulang 10 kali. Stigma tersebut yang harus dihilangkan. Jika bekerja 10 tahun pengalaman juga harus meningkat 10 kali,” paparnya. Kedepannya, ia menargetkan agar dapat mendorong dan membantu dosen di PTMA untuk menjadi guru besar. “Dengan begitu, upaya yang saya lakukan yaitu mengembangkan jurnal yang terindeks scopus. Jika saya mengelola lebih banyak lagi dan terindeks scopus maka dapat digunakan oleh rekan di PTMA sebagai persyaratan khusus untuk mencapai ke guru besar,” begitu pungkas dosen yang pernah mengikuti program short course Vocational Education (SCVE) di Technische Universitat Dresden, Jerman tersebut. []APR
Be the first to comment