
Moh. Mudzakkir, Ph.D., Wakil Sekretaris Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah sekaligus Koordinator Program Magister Sosiologi Universitas Negeri Surabaya, hadir sebagai pemateri dalam kegiatan Baitul Arqam Muhammadiyah Scholarship Preparation Program (MSPP) Batch VII. Kegiatan ini diselenggarakan melalui kerja sama Majelis Diktilitbang, Majelis Pendidikan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI), serta Lazismu PP Muhammadiyah.
Program ini diikuti oleh 50 peserta terpilih dari seluruh Indonesia yang akan menjalani pelatihan intensif dalam persiapan bahasa Inggris akademik, strategi pencarian kampus dan beasiswa, serta penguatan wawasan gerakan untuk melanjutkan studi magister dan doktoral ke luar negeri. Harapannya, para peserta dapat kembali ke Muhammadiyah sebagai kader intelektual yang memiliki daya ubah dan visi strategis.
Future Studies: Possible – Plausible – Preferable
Dalam sesinya yang bertajuk “Dreaming the Future of Muhammadiyah in the Next Twenty Years: A Futures Studies Perspective,” Mudzakkir memperkenalkan Future Studies sebagai bidang transdisipliner yang dapat membantu individu maupun institusi dalam membayangkan dan merancang masa depan secara aktif dan bernilai. Ia menekankan bahwa pendekatan ini bukan bertujuan memprediksi masa depan secara linier, melainkan mengembangkan kapasitas strategis dan reflektif agar Muhammadiyah dapat merespons perubahan zaman dengan cerdas, etis, dan visioner.
Salah satu pendekatan kunci yang dijelaskan adalah kerangka Possible – Plausible – Preferable Futures, yang digunakan untuk membedakan antara kemungkinan yang tak terbatas (possible), skenario realistis berbasis tren (plausible), dan masa depan ideal yang selaras dengan nilai-nilai Islam Berkemajuan (preferable). Di sinilah kader Muhammadiyah didorong untuk tidak hanya menjadi objek sejarah, melainkan subjek strategis yang mampu membentuk masa depan sesuai nilai luhur gerakan.
Dalam bagian pembuka, Mudzakkir menegaskan kembali semangat awal pendiri Muhammadiyah. Ia mengutip pesan K.H. Ahmad Dahlan:
“Muhammadiyah hari ini tidak akan sama dengan Muhammadiyah masa depan. Maka, teruslah menuntut ilmu di mana pun kalian bisa. Jadilah guru, lalu kembalilah mengabdi untuk Muhammadiyah. Kemudian jadilah dokter, kembalilah untuk Muhammadiyah. Jadilah sarjana, insinyur, atau profesional — dan tetaplah kembali untuk Muhammadiyah.”
Kutipan tersebut diiringi dengan penelusuran sejarah Fonds-Dachlan, yaitu inisiatif beasiswa Muhammadiyah sejak 1923 yang mengirimkan kader ke negara-negara Islam terkemuka seperti Mesir dan Turki. Inisiatif ini menjadi bentuk awal kesadaran Muhammadiyah terhadap pentingnya globalisasi pendidikan Islam dan kebutuhan mendesak akan kader intelektual lintas bangsa. Sejarah ini, menurut Mudzakkir, adalah cerminan masa lalu yang menjadi pijakan bagi agenda masa depan.
Digital Archiving: Menjaga Warisan untuk Generasi Mendatang
Dalam paparannya, Mudzakkir mengelaborasi dua contoh bidang strategis masa depan Muhammadiyah. Pertama adalah isu digital archiving, yaitu transformasi tata kelola dokumen dan arsip gerakan agar tidak hilang atau terputus dari generasi ke generasi. Ia menyatakan:
“Menjaga warisan Muhammadiyah berarti menjaga fondasi intelektual masa depannya. Tanpa arsip, reformasi akan berubah menjadi amnesia.”
Digitalisasi arsip bukan sekadar aspek teknis, melainkan langkah ideologis untuk memastikan bahwa nilai, strategi, dan pengalaman gerakan tetap menjadi panduan dalam pembaruan gerakan di masa depan.
Kedua, ia menyoroti sektor pendidikan tinggi, khususnya penguatan peran strategis Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA). Mudzakkir menegaskan bahwa PTMA tidak cukup hanya menjadi lembaga pendidikan, tetapi harus bertransformasi menjadi sustainable universities yang menjawab tantangan zaman melalui pendekatan interdisipliner, internasionalisasi, inovasi kurikulum, dan integrasi nilai Islam Berkemajuan.
“Perguruan tinggi Muhammadiyah tidak cukup hanya bertahan. Ia harus menjadi aktor perubahan yang membawa visi kemanusiaan global dan keunggulan lokal secara bersamaan. Preferred future-nya adalah ketika PTMA tampil sebagai universitas yang unggul, inovatif, kompetitif, dan berakar kuat pada nilai-nilai keislaman progresif,” tegasnya.
Dalam skenario ini, PTMA diharapkan tidak hanya menjadi tempat transmisi ilmu, tetapi pusat pembentukan pemimpin-pemimpin perubahan yang mampu bersaing secara global dan tetap berpihak pada keadilan sosial.
Sesi ini ditutup dengan tugas reflektif bagi peserta MSPP untuk menyusun kontribusi pribadi mereka dalam rentang 5, 10, 15 hingga 20 tahun ke depan terhadap masa depan Muhammadiyah. Mereka diminta memilih satu domain strategis seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, media, atau dakwah, dan merumuskan peran mereka dalam membentuk masa depan gerakan berdasarkan pendekatan Future Studies.
Dengan pendekatan ini, kegiatan Baitul Arqam MSPP Batch VII menjadi lebih dari sekadar pelatihan beasiswa—ia menjadi laboratorium kepemimpinan masa depan. Peserta tidak hanya dibekali keterampilan teknis untuk studi ke luar negeri, tetapi juga kesadaran ideologis dan tanggung jawab historis untuk melanjutkan peran Muhammadiyah sebagai gerakan pencerahan yang transformatif dan adaptif terhadap zaman.
Be the first to comment