Sejak diresmikan berdirinya, Institut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) Bima sebagai perguruan tinggi Islam di timur Pulau Sumbawa mengalami banyak dinamika. Pada peresmiannya yang dihelat pada 12 Januari 1968, mulanya IAIM Bima dikenal sebagai Universitas Muhammadiyah Bima (UMB). Saat itu, fakultas yang telah dibuka adalah Fakultas Agama Jurusan Dakwah. Berangsur-angsur sejak pendiriannya, fakultas-fakultas lain pun menyusul, seperti Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama, dan Fakultas Hukum.
Pada tahun ke-6 sejak peresmiannya, UMB terpecah menjadi dua sekolah tinggi, yakni IAIM Bima dengan Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ushuluddin serta Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Muhammadiyah Bima dengan Fakultas Hukum. Sayangnya, IAIM Bima mengalami stagnansi karena kekurangan mahasiswa, terutama pada Fakultas Ushuluddin. Dalam pengambilan keputusan penonaktifan Fakultas Ushuluddin pada 1989, Badan Penyelenggara Hariah (BPH) pun melakukan reformasi terhadap IAIM Bima.
Melalui Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 11 Tahun 1995, IAIM Bima resmi berubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Muhammadiyah Bima dengan dua jurusan saja, di antaranya Jurusan Tarbiyah dan Jurusan Ushuluddin. Keadaan ini berlangsung selama dua puluh tahun, hingga pada 2015 STAI Muhammadiyah Bima dikembalikan lagi namanya sebagaimana sebelumnya, IAIM Bima.
Pertama Kali Ada Program S-2 di Sumbawa
Perubahan status menjadi IAIM Bima kembali itu tertuang dalam surat penetapan yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2974 Tahun 2015. Slogan IAIM Bima, “Unggul Islami Mencerahkan” menjadi cerminan dari visinya, yakni, “Pusat pengembangan keilmuan Islam yang mencerahkan berbasis penelitian.” Sebagaimana visinya, IAIM Bima memiliki fokus pada keilmuan Islam yang unggul. Hal ini diwujudkan dari komitmen IAIM Bima terhadap beberapa bidang ilmu Islam yang spesifik, seperti Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, dan lainnya.
Saat ini, IAIM Bima memiliki 1.433 mahasiswa dan 43 dosen tetap. Selain membuka sejumlah tujuh program sarjana, IAIM Bima juga membuka Program Magister Program Studi Pendidikan Agama Islam, yang menjadi program pascasarjana pertama di Pulau Sumbawa.
Selama ini, masyarakat yang tinggal di Indonesia bagian timur, khususnya masyarakat di Pulau Sumbawa, relatif tidak menaruh ekspektasi atas kehadiran sebuah institusi. Akan tetapi, IAIM Bima mempertegas komitmennya dalam mewujudkan Islam yang mencerahkan, sehingga IAIM Bima tetap tegak berdiri dengan berbagai keunggulan demi menjadi “center of Islamic research.”
Pesat Tingkatkan Kualitas IAIM Bima
Tim Redaksi Warta PTM berkesempatan mewawancarai Rektor IAIM Bima, Bima Hendra MSi. Ia mengatakan bahwa kuatnya komitmen untuk mengembangkan IAIM Bima ini karena berlandaskan pada beberapa strategi kepemimpinannya. Pertama, pelibatan seluruh sivitas akademika dalam membangun iklim kebersamaan. “Saya selalu melibatkan pejabat struktural, dosen, staf, mahasiswa, hingga pihak lain setiap kali hendak mengambil keputusan,” ujar Bima Hendra. Kedua, pemberdayaan pada masing-masing tupoksi pejabat struktural dan unit-unit di IAIM Bima. Ketiga, membangun budaya kolaboratif di antara berbagai elemen di IAIM Bima.
Selain strategi kepemimpinan, Bima Hendra juga mengungkapkan tentang adanya fasilitas pembelajaran bagi mahasiswa yang selalu diupayakan dengan maksimal. Pengadaan fasilitas ini pun terbagi ke dalam tiga bagian. Pertama, pengadaan fasilitas pendukung proses pembelajaran di kuliah. Pengadaan fasilitas pendukung ini mulai dari penyediaan sarana, hingga penyediaan platform pembelajaran online apabila masih perlu dioptimalkan. Kedua, integrasi bagi kegiatan-kegiatan akademik dengan penelitian. Ketiga, pemaksimalan fungsi Lembaga Pembinaan Binat dan Minat untuk menggali potensi mahasiswa yang bisa menorehkan prestasi, baik akademik maupun nonakademik. “Potensi mahasiswa di bidang nonakademik ini masih perlu dikawal. Nanti, IAIM Bima akan memberi penghargaan dan intensif kepada mahasiswa yang berprestasi dalam bidang akademik. Harapannya. Ini bisa bikin para mahasiswa jadi berusaha lebih maksimal,” jelas Bima.
Integrasi Antara Sains dan Agama
Dalam peningkatan kualitasnya, IAIM Bima tidak terlepas dari tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan yang digarisbawahi oleh Bima Hendra adalah perkembangan IPTEK yang tentu berdampak pada penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini mendorong internal IAIM Bima untuk melakukan evaluasi perihal kesesuaian kurikulum dengan kebutuhan industri dari perkembangan teknologi digital. “Selain itu, kami juga harus bersaing dengan perguruan-perguruan tinggi di Sumbawa, baik universitas negeri maupun universitas swasta. Terutama di Kota Bima,” ujarnya.
Akan tetapi, persaingan antarkampus di Sumbawa tidak membuat IAIM Bima gentar. Sebab, biarpun ada naik-turun dari animo calon mahasiswa yang mendaftar, IAIM Bima tetap percaya diri dengan kekhasannya di bidang ilmu agama Islam. “Kami melihat posisi IAIM Bima yang notabene ada di bawah Kementerian Agama sebagai sebuah peluang. IAIM Bima jadi bisa menawarkan oase keilmuan yang mencerahkan. Apalagi di tengah krisis identitas dan nilai moral di tengah masyarakat,” tambah Bima.
IAIM Bima tergabung dengan perguruan-perguruan tinggi lainnya yang menggagas Student Mobility PTMA oleh Majelis Diktilitbang PPM. Tindak lanjut dari gagasan ini adalah inovasi dalam kurikulum Program Studi Ilmu Tarbiyah yang juga menawarkan kompetensi big data. Artinya, akan ada warna baru dalam pelaksanaan mata kuliah di Fakultas Tarbiyah di mana penguasaan IT terserap di dalamnya. Tentu, lulusan dari Program Ilmu Tarbiyah Plus Big Data ini akan bisa bersaing dalam dunia kerja. “Ini menjadi bentuk nyata integrasi sains dan agama yang ditawarkan oleh IAIM Bima,” demikian Bima menegaskan.[] RAS
Be the first to comment