Oleh Isman
Anggota Asosiasi Profesi Ahli Perancang Kontrak-APK
Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta
Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) merupakan bagian penting dari sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Seiring dengan perkembangan industri dan teknologi, PTMA menghadapi tantangan besar dalam memastikan lulusanya siap menghadapi dunia kerja.
Menurut Pusat Data dan Teknologi Informasi Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja tahun 2021 yang lalu, dunia ketenagakerjaan di Indonesia saat ini menghadapi sejumlah tantangan besar. Pertama, tingginya angka tenaga kerja informal yang didominasi pekerja lulusan pendidikan menengah pertama. Hal ini mengindikasikan rendahnya daya resiliensi pekerja dan ketidakstabilan dalam penghasilan serta perlindungan sosial.
Selain itu, salah satu kajian lembaga di bawah naungan kementerian tenaga kerja ini juga memperkirakan terdapat sekitar 23 juta pekerjaan dapat digantikan oleh proses otomasi dan perangkat kecerdasan buatan, sehingga mereduksi peluang kerja bagi pekerja para lulusan pendidikan tinggi tidak terkecuali lulusan PTMA. Lembaga konsultan bisnis dan riset McKinsey tahun 2016 lalu merilis proyeksinya bahwa dibutuhkan sekitar 113 juta tenaga kerja terampil per tahun agar Indonesia dapat menjadi negara maju, padahal pendidikan tinggi saat ini menurutnya baru bisa men-supply sekitar 3,9 juta tenaga kerja terampil.
Kesenjangan yang sangat fantastis ini juga beririsan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Manpower Group (2023), sebuah lembaga konsultan pengembangan sumber daya manusia global, mengenai prospek pemberi kerja untuk berbagai industri pada tahun 2023-2024. Survei tersebut meminta pemberi kerja untuk menilai prospek mereka untuk tahun mendatang pada skala -100 (sangat pesimistis) hingga + 100 (sangat optimis).
Tiga sektor dengan prospek terkuat yang pertama adalah teknologi informasi (TI), pertumbuhan pada sektor ini diperkirakan rata-rata sebesar 34%. Hal ini mengindikasikan permintaan terhadap tenaga profesional TI yang terampil di berbagai bidang seperti pengembangan perangkat lunak, keamanan siber, dan cloud computing. Kedua, industri jasa keuangan maupun real estat dilaporkan memiliki prospek rata-rata sebesar +29%, sektor ini diperkirakan akan mengalami trend kenaikan akibat tingginya pertumbuhan pasar keuangan dan meningkatnya kebutuhan perumahan bagi pasangan usia produktif. Ketiga, industri layanan kesehatan dan ilmu hayati melaporkan prospek rata-rata sebesar +26% hal ini mencerminkan populasi yang menua dan meningkatnya permintaan akan layanan kesehatan dan perawatan medis yang inovatif.
Disamping itu ada tiga sektor terlemah yang berhasil dihimpun oleh Manpower Group, pertama, adalah transportasi, logistik dan otomotif, sektor ini diproyeksikan hanya tumbuh rata-rata sebesar +10%. Penurunan daya serap tenaga kerja pada sektor ini disebabkan karena kebangkitan e-commerce dan meningkatnya penggunaan kendaraan otonom. Kedua, industri barang dan jasa konsumen melaporkan prospek rata-rata sebesar +18%, meskipun terlihat meyakikan namun sektor ini sangat dipengaruhi oleh fluktuasi kenaikan dan penurunan inflasi serta perubahan pola konsumsi konsumen akibat munculnya pemanasan global yang memberi dampak pada ketersediaan bahan baku untuk produk pangan massal. Ketiga, jasa komunikasi dengan level prospeknya sebesar +18%, sektor ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan konsumen beradaptasi dengan teknologi baru dan dinamika preferensi konsumen terhadap produk tertentu.
Respons PTMA: Sebuah Rekomendasi
Data di atas sangat mungkin untuk dikaji ulang relevansinya, akan tetapi paling tidak data tersebut adalah baseline yang relatif akurat untuk menunjukkan hal-hal mengejutkan yang sedang terjadi dan wajib diantisipasi oleh PTMA dalam mengelola program studinya agar tetap survive termasuk sebagai pertimbangan dalam membuka program studi baru. Pertama, adanya pergeseran demografi, artinya peningkatan populasi lansia di Indonesia akan diikuti dengan peningkatan prevalensi penyakit kronis sehingga membutuhkan tenaga kesehatan yang profesional. Kedua, pertumbuhan permintaan di sektor IT layanan bisnis dan profesional, dan pendidikan menunjukkan adanya peluang pendidikan tinggi untuk menyediakan tenaga terampir dalam bidang IT termasuk pada sektor-sektor yang masih merupakan varian IT seperti teknologi jasa keuangan, IoT dan revolusi big data. Ketiga, fokus pada keinginan lingkungan menciptakan pekerjaan di bidang energi terbarukan dan bidang terkait. Fokus ini pada dasarnya merupakan efek domino dari kompleksnya pergeseran demografi dan preferensi pola konsumsi masyarakat kontemporer.
Jika dicermati preferensi para pemberi kerja menurut survey Manpower Group di atas, maka fokus pada program studi vokasi justru menurut hemat penulis adalah langkah yang belum komprehensif karena meskipun bidang profesinya adalah kesehatan, IT terapan, Manajemen terapan, dan marketing terapan namun interaksi dan soft skill sangat dibutuhkan, sebut saja skill komunikasi antar generasi yakni antar baby boomer generation dan alpha generation. Termasuk urgensi isu etika, karakter dan integritas di bidang IT yang memengaruhi maraknya kejahatan cyber. Kedua hal ini membuktikan bahwa program studi vokasi yang tidak dibekali dengan karakter kegamaan yang kuat, modal sistematika berpikir filsafati seperti logika, problem solving dan etika akan kehilangan daya tahan dan daya juang terhadap disrupsi akibat pesatnya laju kecerdasan buatan di berbagai sektor.
Karena itu, program studi vokasi di PTMA perlu diinterdisiplinerkan dalam berbagai pola, seperti kebijakan double degree ataupun degree by research, sehingga lulusan program studi vokasi memiliki modal soft skill yang kuat untuk bertransformasi dari vokasi ke research and development seperti desainer produk, peneliti, atau konsultan pengembangan industri untuk energi terbarukan. Proses transformasi inilah yang membutuhkan lebih dari sekedar eksistensi vokasional tetapi juga eksistensi interdisiplinaritas penguasaan metode berpikir filsafat dan logika, sosial humaniora dan pendidikan karakter seperti religious studies.
Dikotomi Weberian
Interdisiplinaritas program studi atau model double degrees dapat disebut sebagai kebijakan yang tepat untuk menjembatani kesenjangan kebutuhan tenaga terampil dari lulusan perguruan tinggi karena beberapa alasan yang kuat. Pertama-tama, program double degrees meningkatkan daya saing lulusan di pasar kerja dengan melengkapi mereka dengan beragam keterampilan dan pengetahuan dari dua disiplin yang berbeda. Berdasarkan dua riset di atas diproyeksikan bukan hanya keterampilan vokasional tetapi keterampilan eksistensial seperti pendidikan karakter dan etika, karena umumnya industri mencari kandidat yang dapat beradaptasi dan berkontribusi dalam berbagai peran dan tanggung jawab yang kompleks sehingga tidak cukup hanya dengan pendekatan monodisiplin ilmu.
Kedua, program double degrees memungkinkan lulusan untuk lebih mudah beradaptasi dengan perubahan pasar kerja yang cepat dan dinamis. Dengan memperoleh keahlian dalam dua bidang yang berbeda, lulusan memiliki kemampuan untuk mengejar berbagai jalur karir sesuai dengan kebutuhan dan permintaan industri saat ini dan di masa depan.
Paragdigma industrialisme weberian mewariskan pembidangan spesialisasi skill dan keilmuan yang sangat berharga, namun bukan berarti warisan tersebut tidak memiliki kelemahan. Penerapan paradigma Weberian dalam pendidikan tinggi ikut menyumbang kesenjangan antara kebutuhan industri dan pasar tenaga kerja, misalnya pengukuran kualitas layanan pendidikan tinggi berbasis akreditasi, penyusunan kurikulum berbasis industri yang menekankan kualifikasi standar kompetensi yang kaku, sehingga kurikulum pendidikan tinggi kehilangan daya fleksibilitasnya. Kurikulum monodisiplin yang dirancang secara birokratis lambat laun kehilangan relevansi dengan kebutuhan industri kekinian, sehingga memicu kesenjangan keahlian lulusan, karena determinasi pembelajaran prosedural mengakibatkan tidak banyak lulusan pendidikan tinggi yang memiliki kepekaan interaksional dan karakter integritas yang mumpuni.
Be the first to comment