Oleh Moh. Mudzakkir
Dosen Sosiologi dan Kajian Pendidikan Tinggi Universitas Negeri Surabaya
Wakil Sekretaris Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah
Perguruan tinggi memiliki kekuatan strategis dalam merombak cara pandang masyarakat, termasuk di kalangan kaum terdidik Islam di Indonesia. Buku “Whose Islam? The Western University and Modern Islamic Thought in Indonesia” (2021) karya Megan Brankley Abbas, mengungkapkan bagaimana universitas-universitas Barat mempengaruhi pemikiran Islam di Indonesia. Diadaptasi dari disertasi doktoral dalam bidang Sejarah di Princeton University, Megan mengupas detail interaksi dinamis antara institusi-institusi Barat dan perkembangan pemikiran Islam modern di Indonesia. Buku ini membongkar bagaimana pendidikan tinggi Barat mencetak pemikiran baru melalui studi kasus individu-individu berpengaruh dan institusi yang memainkan peran kunci dalam transformasi ini.
Sebagai pengantar, Megan memperkenalkan konsep “McGill mafia”, istilah yang sering digunakan oleh muslim Indonesia untuk menggambarkan pengaruh besar lulusan McGill University Kanada dalam pendidikan dan birokrasi Islam di Indonesia (hlm. 1–2). Sejak 1950-an, hampir 200 muslim Indonesia telah meraih gelar pascasarjana di Institute of Islamic Studies di McGill University, dan lebih dari 1.400 cendekiawan telah mengikuti program pelatihan yang disponsori McGill (hlm. 2).
Beberapa tokoh tanah air, seperti Mukti Ali, Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Syafi’i Maarif, dan Amien Rais merupakan contoh dari individu-individu yang berperan penting dalam menyebarkan pemikiran Islam modern di Indonesia setelah menempuh pendidikan di Barat (hlm. 3). Kelima orang tersebut dalam perkembangannya memainkan peran strategis pada fase dan ruang berbeda dalam sejarah intelektual Islam Indonesia.
Megan juga membahas bagaimana para intelektual muslim dari seluruh dunia telah memanfaatkan universitas Barat sebagai tempat untuk mempelajari dan mengajarkan Islam. Para cendekiawan, seperti Mohammed Arkoun, Naquib al-Attas, Ismail al-Faruqi, Hassan Hanafi, Nurcholish Madjid, Seyyed Hossein Nasr, dan Fazlur Rahman menggunakan pendidikan mereka di Barat untuk merumuskan visi reformasi Islam. Penulis juga menekankan bahwa universitas Barat telah menjadi situs penting bagi produksi pengetahuan Islam dan otoritas religius muslim sejak pertengahan abad ke-20 (hlm. 3–4).
Secara teoritik, penulis memperkenalkan konsep dualisme intelektual yang memisahkan tradisi intelektual Islam dan Barat sebagai dua diskursus yang terpisah. Dia menyebut bahwa dualisme ini telah memarginalkan umat muslim yang berpendidikan madrasah karena pengetahuan Eropa dianggap lebih berguna secara sosial dalam konteks kolonial (hlm. 5). Sebagai upaya mengatasi dualisme ini, beberapa intelektual muslim mulai mengadopsi pendekatan fusionis yang menggabungkan tradisi intelektual Islam dan Barat (hlm. 6). Fusionis ini berusaha untuk mengintegrasikan metode akademik Barat ke dalam tulisan normatif mereka tentang reformasi Islam (hlm. 8–9).
Bab pendahuluan juga membahas perdebatan antara “insider” dan “outsider” dalam studi Islam di universitas Barat. Megan menyoroti bagaimana perdebatan ini mencerminkan kecemasan intelektual dan etis tentang tujuan universitas pasca-pencerahan (hlm. 11). Penulis menelusuri sejarah politik insider-outsider dalam studi Islam sebagai jendela untuk memahami norma-norma diskursif dan struktur otoritas di lapangan (hlm. 13–14).
Membangun Perguruan Tinggi Islam Modern
Dalam sejarah pelembagaan modernisme Islam, Megan menguraikan pendirian Islamic College—kemudian dikenal sebagai Institut Agama Islam Negeri atau IAIN—di Indonesia pada bab pertama. Pendirian perguruan tinggi publik berbasis Islam ini menjadi manifestasi dari pelembagaan modernisasi Islam di Indonesia.
Penulis menyoroti bagaimana para intelektual muslim Indonesia berusaha menjembatani kesenjangan antara tradisi intelektual Islam dan Barat (hlm. 21). Dalam konteks ini, tokoh seperti Mahmud Yunus dan Mohammad Natsir memiliki peran penting dalam mendesain kurikulum yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan modern dengan studi Islam untuk menghindari dualisme sebagai produk di era kolonial (hlm. 22–23).
Yunus fokus pada pengembangan kurikulum yang lebih modern dan inklusif, sementara Natsir lebih condong pada mempertahankan identitas Islam yang kuat dalam pendidikan (hlm. 25–26). Namun, keduanya menghadapi berbagai tantangan, termasuk keterbatasan sumber daya dan meningkatnya partisanship umat Islam di Indonesia (hlm. 28–29). Upaya mereka mencerminkan perjuangan yang lebih luas dalam menyelaraskan tradisi dengan modernitas di dunia Islam (hlm. 30–31).
McGill University sebagai Laboratorium Reformasi Islam
Pada bab kedua, Megan membahas perjalanan para intelektual muslim Indonesia ke McGill University di Kanada. Wilfred Cantwell Smith mendirikan Institute of Islamic Studies di McGill pada tahun 1951 dengan tujuan menciptakan dialog antaragama yang mendalam dan eksperimen metodologis baru (hlm. 52). Para intelektual, seperti Fazlur Rahman, Mukti Ali, dan Harun Nasution memanfaatkan lingkungan intelektual unik ini untuk melakukan eksperimen pemikiran yang menggabungkan tradisi intelektual Islam dan Barat (hlm. 55–56).
Fazlur Rahman, misalnya, mengeksplorasi hermeneutika Qur’an dengan pendekatan historis-kritis, sementara Mukti Ali dan Harun Nasution fokus pada pembaruan pendidikan Islam (hlm. 58–60). Namun, mereka menghadapi tantangan besar, termasuk eksklusi dari komunitas akademik karena politik objektivitas (hlm. 62–63). Megan menunjukkan bagaimana Smith dan rekan-rekannya berusaha menjembatani kesenjangan antara dua tradisi intelektual yang berbeda meskipun sering kali menghadapi resistensi dari kalangan akademisi Barat dan muslim konservatif (hlm. 65–66).
Transformasi Kementerian Agama
Selanjutnya, pada bab ketiga, penulis memaparkan perjalanan Mukti Ali dan Harun Nasution kembali ke Indonesia serta upaya mereka dalam mereformasi pendidikan tinggi Islam. Ali dan Nasution menggunakan posisi mereka di Kementerian Agama dan IAIN Jakarta untuk menyebarkan pemikiran fusionis (hlm. 92). Ali menciptakan peluang pelatihan metodologi akademik Barat bagi muslim Indonesia melalui berbagai program, seperti pelatihan guru dan studi lanjut di luar negeri. Di sisi lain, Nasution merancang kurikulum yang menggabungkan disiplin ilmu Barat seperti filsafat dan ilmu sosial dengan studi Islam (hlm. 95–99).
Namun, upaya mereka juga menghadapi resistensi dari umat Islam yang lebih konservatif, yang melihat pendekatan ini sebagai ancaman terhadap otentisitas Islam. Penulis menunjukkan bahwa meskipun ada perlawanan, Ali dan Nasution berhasil membawa perubahan signifikan dalam pendidikan Islam di Indonesia (hlm. 102–105).
Mazhab Chicago: Islam dan Pembangunan
Megan menceritakan pengalaman generasi kedua cendekiawan Indonesia yang belajar di University of Chicago di bawah bimbingan Leonard Binder dan Fazlur Rahman (hlm. 122). Proyek Islam and Social Change yang didanai oleh Ford Foundation menciptakan ruang bagi refleksi teologis muslim dan penelitian fusionis di Chicago (hlm. 125–126). Beberapa tokoh, seperti Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Ahmad Syafi’i Maarif menggunakan kesempatan ini untuk mengembangkan gagasan baru tentang hubungan antara Islam dan pembangunan (hlm. 128–130).
Amien Rais mengadopsi teori-teori modernisasi untuk mendukung reformasi politik di Indonesia. Dia menggunakan analisis ilmiah dan metodologi Barat untuk mengkritik pemerintah Indonesia dan mendukung reformasi politik yang lebih demokratis. Amien Rais berpendapat bahwa modernisasi dan Islam tidak harus bertentangan dan bahwa Islam dapat menjadi kekuatan positif dalam pembangunan sosial dan politik (hlm. 132).
Nurcholish Madjid, yang dikenal dengan panggilan Cak Nur, menekankan pentingnya kontekstualisasi Islam dalam dunia modern. Cak Nur berusaha mengintegrasikan nilai-nilai universal Islam dengan prinsip-prinsip demokrasi dan modernitas. Dia berpendapat bahwa Islam harus terbuka terhadap perubahan dan inovasi untuk tetap relevan dalam konteks global yang terus berubah (hlm. 133).
Ahmad Syafi’i Maarif juga menggunakan pendidikan yang diperolehnya di Chicago untuk mempromosikan pemahaman Islam yang progresif dan inklusif. Syafi’i Maarif menekankan pentingnya dialog antaragama dan keterbukaan terhadap pemikiran kritis sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat demokrasi dan pembangunan sosial di Indonesia (hlm. 135).
Megan menggambarkan bagaimana pengalaman di Chicago memberikan perspektif baru bagi tiga tokoh tersebut yang kemudian mereka terapkan dalam konteks politik dan sosial di Indonesia. Pengaruh pendidikan di Chicago membantu mereka mengembangkan pemikiran yang menggabungkan tradisi Islam dengan teori-teori modernisasi, yang pada gilirannya memengaruhi diskursus publik dan kebijakan di Indonesia.
Bayangan Imperialisme Akademik
Melanjutkan bab sebelumnya, bab keempat buku ini membahas karier Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Ahmad Syafi’i Maarif setelah kembali ke Indonesia (hlm. 155). Mereka menghadapi kritik keras dari kalangan muslim konservatif yang menuduh pemikiran mereka terlalu dipengaruhi oleh Barat (hlm. 158–159). Megan menganalisis tulisan-tulisan mereka untuk menunjukkan bagaimana mereka merespons kekhawatiran tentang imperialisme akademik dengan filsafat keterlibatan lintas-disiplin yang mendalam (hlm. 162–163).
Amien Rais, misalnya, mengkritik imperialisme intelektual Barat, tetapi tetap menggunakan metode ilmiah Barat dalam advokasi politiknya (hlm. 165–166). Sementara itu, Nurcholis Madjid dan Syafi’i Maarif juga berusaha menyeimbangkan antara penerimaan metode akademik Barat dan mempertahankan nilai-nilai Islam (hlm. 169–170).
Studi ini menunjukkan bahwa meskipun menghadapi banyak tantangan, ketiganya berhasil memengaruhi perkembangan pemikiran Islam modern di Indonesia (hlm. 173). Bahkan, oleh Gus Dur (Abdurrahman Wahid), ketiga tokoh ini disebut sebagai “Tiga Pendekar Chicago” dengan persamaan dan juga keunikannya masing-masing dalam menawarkan pembaruan pemikiran Islam dan perubahan sosial (Tempo, 27 Maret 1993).
Megan menutup buku ini dengan refleksi tentang masa depan studi Islam sebagai disiplin akademik (hlm. 187). Dia mengeksplorasi berbagai respons potensial terhadap pertanyaan tentang etika penelitian dalam dunia yang semakin terintegrasi sekaligus terpecah belah ini (hlm. 189). Megan menawarkan tiga respons utama yang dapat membantu navigasi politik insider-outsider dalam studi Islam. Pertama, pentingnya pendekatan yang lebih inklusif dan dialogis. Kedua, perlunya keterbukaan terhadap metode-metode baru yang dapat memperkaya studi Islam. Terakhir, ketiga, pentingnya kesadaran kritis terhadap dinamika kekuasaan yang ada dalam penelitian lintas budaya (hlm. 190–192).
Kontribusi Kajian bagi Perkembangan Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia
Buku ini memberikan kontribusi penting bagi pemahaman tentang bagaimana pendidikan tinggi Barat memengaruhi perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Megan menunjukkan bahwa universitas Barat bukan hanya menjadi tempat muslim belajar tentang Islam, tetapi juga tempat mereka merumuskan kembali pemikiran Islam untuk konteks modern (hlm. 193). Hal lain yang juga mendapat sorotan pada buku ini adalah peran penting yang dimainkan oleh institusi dan individu dalam membentuk pemikiran Islam modern di Indonesia, serta tantangan yang mereka hadapi dalam menjembatani tradisi intelektual Islam dan Barat (hlm. 195–197).
Walaupun demikian, buku ini juga memiliki beberapa keterbatasan. Salah satunya adalah penulis cenderung lebih fokus pada narasi individu daripada memberikan analisis yang mendalam tentang bagaimana proses pembaruan ini memengaruhi masyarakat secara lebih luas.
Meskipun pendekatan tersebut memberikan wawasan yang kaya tentang pengalaman personal, tetapi kurang memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang dampak struktural kelembagaan dari pendidikan tinggi Barat terhadap perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Selain itu, ada kecenderungan untuk menyoroti keberhasilan intelektual muslim yang berpendidikan Barat tanpa mengkritisi lebih lanjut tentang potensi elitisme dan eksklusivitas yang mungkin muncul dari transformasi ini.
Terlepas dari semua catatan tersebut, buku karya alumni doktoral Sejarah Universitas Princeton ini layak dibaca bagi yang tertarik pada sejarah perkembangan, modernisasi perguruan tinggi Islam, dan sejarah intelektual Islam di Indonesia. Penulis berhasil menyampaikan pesan bahwa perguruan tinggi berperan sangat strategis dalam melakukan transformasi baik secara individual dan kelembagaan, atau bahkan keduanya secara simultan dalam mendorong kemajuan Masyarakat. Itulah contoh kekuatan luar biasa dari pendidikan (perguruan) tinggi.
Be the first to comment