Kisah Dosen ITB AD Jakarta Mengajar AIK Multikultural untuk Non Muslim

Kisah Dosen ITB AD Jakarta Mengajar AIK Multikultural untuk Non Muslim
Kisah Dosen ITB AD Jakarta Mengajar AIK Multikultural untuk Non Muslim

AIK (Al-Islam dan Kemuhammadiyahan) merupakan bagian integral dari kegiatan akademik dan non-akademik di Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA). Dalam arti luas, AIK mencakup keseluruhan ajaran Islam yang meliputi aqidah, akhlak, ibadah, dan muamalah duniawiyah. Ajaran ini bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad, sebagaimana dipahami dan diimplementasikan oleh Muhammadiyah dalam gerakannya.

Secara lebih spesifik, AIK berfungsi sebagai sarana pendidikan, pengajaran, dan pengkaderan, serta merupakan inti nilai dalam menciptakan kampus Islami dan mengembangkan gagasan Islam yang berkemajuan. Mata kuliah yang termasuk dalam lingkup AIK meliputi Alquran dan Hadist, akidah Islam, akhlak, Islam interdisipliner, tahsinul Alquran, fikih ibadah dan munakahat, kemuhammadiyahan, dan ilmu dakwah. Semua ini bertujuan untuk membentuk masyarakat muslim yang berpikiran maju dan berkontribusi bagi bangsa dan agama, serta mencetak pemimpin-pemimpin masa depan.

Akan tetapi dalam realitasnya, tidak semua mahasiswa yang berkuliah di PTMA itu muslim, banyak juga yang non-muslim seperti Kristen, Katolik, Hindu bahkan Budha. Kisah seperti ini banyak kita temui di kampus PTMA yang ada di Indonesia bagian timur sana dimana mayoritas penduduknya adalah non-muslim.

Jadi, apakah kalau mahasiswa non muslim kuliah di kampus Muhammadiyah akan menjadi target Islamisasi? Tidak sama sekali. Tidak bahkan sejak dalam pikiran. Mereka yang Kristen, sekolah di kampus Muhammadiyah, malah jadi semakin Kristen. Mereka yang Katolik, sekolah di kampus Muhammadiyah, jadi semakin Katolik. Demikian pula yang Hindu atau Budha.

Seperti kisah Yulianti Muthmainnah, salah satu dosen Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB AD) Jakarta. Yuli beberapa kali mendapat “surat cinta” dari orang tua mahasiswa. Anaknya non-muslim yang sebelumnya jarang ke gereja, tiba-tiba rajin ke gereja, setelah mengikuti rumpun mata kuliah AIK, yang merupakan matkul wajib bagi seluruh mahasiswa pun non-muslim.

Di mata kuliah Praktikum Alquran, tidak ada kewajiban menghafalkan surat atau ayat-ayat al-Qur’an tertentu bagi non-Muslim. Sebagai gantinya, mahasiswa non-muslim (Kristen atau Katolik) ditugaskan untuk mencatat ceramah di gereja pada hari minggu. Mahasiswanya yang sebelumnya tidak pernah ke gereja, sekarang malah rajin pergi ke gereja tiap akhir pekan. Orang Kristen mengenal Tuhannya melalui jalur kampus Muhammadiyah. “Terima kasih, Ibu. Anak saya yang sebelumnya tidak ke gereja, sekarang malah ke gereja. Saya tidak punya ekspektasi kalau di kampus Islam dia malah rajin ibadah. Padahal dulu ia beberapa kali sekolah di lembaga pendidikan Kristen,” ujar surat cinta itu kepada Yuli. Sampai beberapa kali, semua dari orang tua yang berbeda.

Di mata kuliah Ibadah, pernah mahasiswa non-Muslim diminta presentasi tentang praktik keagamaannya yang mirip dengan ibadah-ibadah dalam Islam atau yang beririsan dengan ibadah mereka. Misalnya bila di Islam ada zakat, maka pada Kristen atau Katolik ada sepersepuluh. Demikian pula dalam Islam ada puasa wajib Ramadhan, maka dalam agama mereka juga mengenal puasa. Maka, umumnya mereka akan memilih isu puasa atau derma sepersepuluh itu dan mempresentasikannya di depan kelas.

Suatu ketika, ada mahasiswa Kristen, mereka memilih judul puasa dan mempresentasikan puasa dalam perspektif Kristiani. Di akhir presentasi, salah satu dari mereka bercerita, ia terisak. Tak kuasa menahan tangis. Dengan mata sembab, ia menjelaskan, bahwa itulah pertama kalinya ia bicara tentang agamanya secara bebas, tanpa rasa takut terhadap apapun, di hadapan orang-orang non-Kristen. Karena, sejak TK sampai SMA, ia tidak pernah punya kesempatan untuk menceritakan apapun tentang agamanya.

Pada mata kuliah Akidah Akhlak, dalam dialog di kelas Sarjana Desa, ada dialog hangat di kelas antar mahasiswa menanggapi presentasi mahasiswa Hindu yang meyakini wajibnya sedekah laut. Ada pertanyaan dari mahasiswa lainnya seperti ‘bagaimana agar sedekah laut itu tidak mencemari lautan?’ Mahasiswi Hindu tersebut terlihat berpikir keras dan bingung menjelaskan.

“Bagaimana kalau nampan yang digunakan itu dibuat dari daun pisang atau daun kelapa? Karena kalau nampannya dari plastik, akan mencemari lingkungan. Kalau dimakan ikan, ikan bisa mati. Kalau daun kan aman,” ujar Yuli ketika mengajar mahasiswanya. Dan mahasiswa ini pun menyetujui. Di Akhir perkuliahan, ketika membuat tugas video kreatif, mahasiswa tersebut mengunggah cara membuat tampah dengan daun pisang dan daun kelapa sebagai wadah/tempat dan ia gunakan untuk upacara keagamaan Hindu sesajen laut di Bali. Demikianlah Matkul AIK diajarkan di kampus ITB-AD Jakarta. Semua menjadi happy, semua belajar keragaman dan penghormatan. []mzy

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*