
Tauhid selama ini sering dipahami sebatas masalah teologis; sebatas keyakinan bahwa “Tiada Tuhan selain Allah”. Namun, menurut Erik Tauvani Somae, Wakil Direktur Pondok Pesantren Madrasah Muallimin Muhammadiyah, konsep tauhid justru ditarik lebih jauh, bukan hanya urusan keyakinan, tapi pijakan untuk mewujudkan keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan.
Dalam pemaparannya, Erik mengingatkan bahwa di lingkungan Muhammadiyah, tauhid bukan sekedar pernyataan pasif dalam hati, melainkan harus termanifestasi dalam tindakan nyata. “Bertauhid tapi tak peduli pada keadilan adalah tauhid yang pasif, tak fungsional,” tegasnya. Tauhid yang stagnan, hanya melahirkan eksklusivitas (terasing dari masyarakat), hidup untuk kelompok sendiri, ujar erik.
Tauhid: Fondasi Peradaban Universal
Erik menekankan, Islam sebagai agama tauhid adalah agama universal. Artinya, kehadiran Islam seharusnya memberi manfaat tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga seluruh umat manusia. “Agama ini harus rasional, mudah, terbuka, dan peduli. Tidak ada kebaikan tanpa rasionalitas. Tidak ada kebajikan tanpa keterbukaan dan kepedulian,” katanya.
Konsep ini sejalan dengan paradigma risalah kenabian sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya ayat 107: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam“.
Erik menambahkan, risalah kenabian membawa tiga konsekuensi besar: kerasulan, Al-Qur’an, dan agama sebagai pedoman universal. Tauhid, tidak hanya berhenti pada aspek rububiyah (keyakinan Allah sebagai Pencipta) dan uluhiyah (keyakinan Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah), namun harus merasuk ke ranah sosial kemanusiaan.
Tauhid dalam Kerangka Muhammadiyah
Di Muhammadiyah, tauhid dirumuskan secara ideologis dan praktis. Ajaran ini dikemas dalam berbagai perangkat organisasi seperti Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM), Matan Keyakinan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), kepribadian Muhammadiyah, hingga Risalah Islam Berkemajuan.
“Tauhid adalah inti. Lalu dijadikan sebagai al-‘urwatul wutsqa , pegangan kokoh. Kemudian diterjemahkan dalam rumusan ideologis agar dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata,” jelas Erik.
Tauhid dalam perspektif Muhammadiyah banyak diinspirasi oleh dua surat pendek dalam Al-Qur’an, yakni Surat Al-‘Ashr dan Al-Ma’un. Surat Al-‘Ashr menegaskan pentingnya kemajuan dan produktivitas. “Waktu itu bergerak maju, memungkinkan memutar jarum jam ke belakang. Maka pikiran dan tindakan kita juga harus maju,” ujar Erik. Sementara Surat Al-Ma’un mengajarkan nilai empati, kepedulian, dan pemberdayaan sosial.
Tauhid: Jalan Menuju Masyarakat Ideal
Erik menyebut, implementasi tauhid dalam kehidupan bermasyarakat adalah dengan membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya: masyarakat yang moderat, kuat secara spiritual dan intelektual, egaliter, multikultural, dialogis, dan unggul.
Hal ini sejalan dengan pemikiran cendekiawan Muhammadiyah seperti Yunahar Ilyas yang menyebut inti iman adalah tauhid. Namun Erik mengingatkan, jika tauhid hanya dipahami sebagai urusan hati, tanpa aksi sosial, ia akan stagnan.
Senada dengan itu, pemikiran M. Amin Abdullah juga diangkat. Ia menegaskan bahwa tauhid tidak boleh berhenti pada aspek teologis semata. Tauhid harus hadir dalam wilayah kemanusiaan universal, termasuk melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat .
Tauhid sebagai Etos dan Kesadaran
Menutup paparannya, Erik merumuskan tiga fungsi utama tauhid yang seharusnya menjadi kesadaran kolektif yaitu umat, Abdun adalah Mengabdi kepada Allah (ibadah), Khalifatu yaitu Memajukan kehidupan di muka bumi (tanggung jawab sosial). Rahmatan Lil ‘Alamin (Menebarkan kasih sayang bagi seluruh alam).
Kesadaran tauhid itu dibangun di atas keyakinan bahwa Allah Maha Esa, Maha Pencipta, Maha Penguasa, dan Maha Mulia. Sedangkan etos yang menghidupkan tauhid adalah semangat Al-Ma’un (kepedulian sosial) dan Al-‘Ashr (kemajuan peradaban).
“Tauhid bukan sekedar ucapan. Tauhid adalah kesadaran, sekaligus jalan hidup yang membangun peradaban,” pungkas Erik. []tz
Be the first to comment