UMY Kukuhkan Dua Guru Besar Baru Bidang Hukum Islam dan Sosiologi

UMY Kembali Kukuhkan Dua Guru Besar Baru

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) kembali mengukuhkan dua Guru Besar baru, Sabtu (27-4-2024). Proses pengukuhan dilaksanakan di Gedung AR Fachruddin B Lantai 5 UMY. Kedua Guru Besar yang dikukuhkan tersebut ialah Prof Dr Muchammad Ichsan, Lc MA sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Islam dan Prof Dr Zuly Qodir, MAg dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sosiologi.

Saat prosesi pengukuhan, Prof Dr Muchammad Ichsan, Lc MA menyampaikan orasi ilmiahnya tentang “Pemberlakukan Hukum Islam: Pengalaman Indonesia dan Tantangannya ke Depan”. Ichsan menjelaskan dinamika perjuangan umat Islam dalam memberlakukan hukum Islam di Indonesia mulai dari masa kerajaan Islam, zaman penjajahan Belanda, zaman Kemerdekaan dan Orde lama, zaman Order Baru, sampai zaman reformasi hingga saat ini. “Indonesia mempunyai pengalaman panjang dalam memberlakukan hukum Islam. Pengalaman tersebut berliku-liku dan penuh kendala juga tantangan sehingga layak disebut perjuangan,” kata Ichsan.

Ichsan juga menyampaikan bahwa Indonesia mempunyai prospek yang cerah ke depan dalam hal pemberlakukan hukum Islam. Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah sedikit, baik berasal dari internal umat Islam itu sendiri maupun dari pihak eksternal. Umat Islam Indonesia sendiri mempunyai perbedaan pendapat mengenai legislasi hukum Islam, ada yang mendukung dan ada pula yang menolaknya. Apalagi pendapat mengenai suatu masalah fikih, sehingga berpotensi adanya perbedaan pada waktu akan diresmikan dalam Undang-undang. “Selain itu, Political will (keinginan politik) mulai dari eksekutif dan legislatif serta masyarakat Islam pada umumnya dalam bentuk formalisasi atau legislasi hukum Islam masih lemah dan banyak perhitungan untung rugi,” tuturnya. 

Tantangan lainnya adalah resistensi dari non muslim dan sebagian muslim terhadap pemberlakuan hukum Islam masih tinggi. Kalangan non muslim berpendapat bahwa formalisasi hukum Islam di Indonesia akan menempatkan mereka sebagai warga negara kelas dua. “Padahal kita sebenarnya inginnya pemberlakuan hukum Islam itu bagi umat Islam sendiri, bukan memberlakukan juga untuk mereka” tandasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Prof Dr Zuly Qodir, MAg juga menyampaikan orasi ilmiahnya. Orasi yang disampaikan tentang “Identitas Kewargaan Priyayi, Santri dan Islam Jawa Pasca Orde Baru: Reinterpretasi dan Kontestasi”. Zuly menyoroti dinamika kompleks yang terjadi antara berbagai identitas sosial dan keagamaan di Indonesia pasca-Orde Baru. Menurutnya, saat ini antara santri, Islam Jawa dan priyayi sudah sama-sama memiliki ruang ekspresi keislaman yang hampir sama. Hanya entitasnya saja yang dibedakan. Ketiganya memiliki metode untuk mengubah dirinya menjadi tampak islami agar dapat disebut sebagai orang yang taat dalam beragama.

Namun, yang terjadi saat ini adalah kontestasi secara kultural dan sosiologis antara santri, Islam Jawa dan Priyayi. Mereka saling berebut pengaruh untuk memasarkan gagasannya di publik Islam Indonesia. Bahkan muncul pula kontestasi keislaman yang mengarah pada apa yang Zuly sebut sebagai “rezimintasi” agama di Indonesia. Rezimintasi agama ialah menggunakan kekuasaan politik untuk memaksakan pandangan keagamaan pribadi atau kelompok kepada pihak-pihak yang secara diametral berbeda pendapat. “Jangan sampai terjadi rezimintasi faham keagamaan. Indonesia adalah milik kita semua,” pungkasnya. []ic

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*