Peduli Lingkungan: Daur Ulang Kesadaran Mahasiswa

Peduli Lingkungan Daur Ulang Kesadaran Mahasiswa
Peduli Lingkungan Daur Ulang Kesadaran Mahasiswa

Isu Lingkungan Telah Berlaku

Berbicara soal lingkungan rasanya seperti kaset rusak yang terus berputar tanpa henti. Kita sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti “krisis iklim”, “pemanasan global”, “kerusakan lingkungan” di berbagai forum diskusi, seminar, bahkan media sosial. Namun, apakah hal ini benar-benar menghasilkan perubahan yang nyata?

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat Indonesia menghasilkan 68 juta ton sampah per tahun, dengan 60% di antaranya belum terkelola dengan baik. Ironisnya, angka ini terus meningkat meski kampanye kepedulian lingkungan juga semakin gencar. Artinya, ada yang salah dalam pendekatan kita selama ini.

Isu lingkungan bukan lagi sekedar wacana akademis atau trending topik yang datang dan pergi. Ketika kita melihat banjir yang melanda Jakarta setiap musim hujan, ketika suhu udara semakin panas di kota-kota besar, ketika sungai-sungai di sekitar kampus berubah warna dan berbau, saat itulah kita sadar bahwa krisis lingkungan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Yang menjadi pertanyaan: mengapa isu yang sudah “usang” ini masih belum terselesaikan?

Berhenti Berwacana: Tantangan Nyata di Lapangan

Perlu diketahui, diskusi tentang lingkungan sudah sangat banyak sekali dilaksanakan tetapi kerja-kerja konkret untuk membuat suatu gerakan tentang lingkungan sangatlah minim.

Tantangan terbesar bukanlah kurangnya pengetahuan, melainkan tumpang tindih antara kesadaran dan tindakan. Kita tahu bahwa kantong plastik membutuhkan 400 tahun untuk terurai, tapi tetap disimpan di minimarket. Kita paham bahwa menyalakan lampu mengirit energi, tapi sering lupa melakukannya. Kita mengerti pentingnya memilah sampah, tapi masih mencampur semuanya dalam satu tempat.

Hasil survei dari beberapa universitas menunjukkan bahwa 87% mahasiswa merasa peduli lingkungan, namun hanya 23% yang konsisten mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Angka ini mencerminkan kenyataan yang pahit.

Lebih parahnya lagi, banyak program kepedulian lingkungan yang bersifat seremonial. Acara penanaman pohon yang hanya dilakukan pada saat peringatan Hari Lingkungan Hidup, kemudian pohon-pohon itu dibiarkan mati karena tidak ada yang merawat. Kampanye bersih-bersih kampus yang dilakukan dengan gegap gempita, tapi minggu depannya kembali kotor seperti semula.

Inilah tantangan nyata yang harus kita hadapi: bagaimana mengubah kesadaran menjadi kebiasaan, dan kebiasaan menjadi budaya yang berkelanjutan.

Peran Mahasiswa Terhadap Kepedulian Lingkungan

Mahasiswa memiliki posisi unik dalam gerakan kepedulian lingkungan. Mereka berada di masa keemasan untuk belajar, bereksperimen, dan membuat perubahan.

Keunikan siswa terletak pada kemampuan kita untuk menjembatani dunia akademis dengan realitas sosial. Kita memiliki akses terhadap pengetahuan terkini melalui jurnal dan penelitian, sekaligus kehidupan di tengah masyarakat yang mengalami dampak langsung dari kerusakan lingkungan. Posisi ini memberi kita kekuatan untuk tidak hanya memahami masalah, tapi juga merancang solusi yang aplikatif.

Langkah konkret yang bisa dimulai siswa sebenarnya sangat beragam. Di level personal, dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa memulai dengan membawa tumbler sendiri dan menolak sedotan plastik, atau setiap ke mini market kita sudah menyiapkan tas sendiri untuk membawa pulang barang belanjaan. Tindakan-tindakan sederhana ini, jika dilakukan secara konsisten, akan menciptakan dampak yang signifikan.

Di tingkat komunitas, baik untuk anak muda, siswa ataupun mahasiswa perlu mencontoh Pandawara, misalnya. Yaitu dengan cara membentuk sebuah tim yang fokus pada isu lingkungan, lalu membuat konten gerakan ekologi dengan membersihkan suatu lokasi bersama masyarakat setempat sekaligus melakukan edukasi di sana. Hal ini akan menarik simpati masyarakat untuk hidup lebih ramah lingkungan.

Pada tingkat advokasi, mahasiswa memiliki kekuatan untuk mengusulkan kebijakan kampus bebas plastik sekali pakai. Mahasiswa dapat melakukan penelitian tentang jejak karbon kampus dan mengusulkan solusinya, menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah untuk program lingkungan, serta memanfaatkan media sosial untuk edukasi yang konsisten dan berkelanjutan, bukan hanya untuk konten viral saat ini.

Yang perlu diingat peran mahasiswa bukan hanya sebagai pelaksana, tetapi juga sebagai pemimpin perubahan. Kita harus berani mengambil inisiatif, tidak hanya menunggu arahan dari kampus atau pemerintah.

Menjaga Alam Adalah Menjaga Kehidupan

Pada akhirnya, kepedulian terhadap lingkungan bukanlah tentang menjadi “anak baik” yang ikut tren hijau. Ini bertahan tentang hidup yang paling dasar. Ketika kita merusak alam, kita juga merusak fondasi kehidupan kita sendiri. Ketika kita mencemari udara, kita mencemari sumber kehidupan. Ketika kita merusak hutan, kita merusak paru-paru dunia.

Mahasiswa hari ini akan menjadi pemimpin masa depan. Kebijakan yang kita buat 10-20 tahun mendatang akan menentukan nasib generasi berikutnya. Jika kita gagal membangun kesadaran lingkungan sejak sekarang, kita akan mewariskan bumi yang rusak kepada anak cucu kita.

Namun, menjaga alam bukan berarti kita harus kembali ke zaman batu atau menolak teknologi. Justru sebaliknya, kita perlu menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menciptakan solusi yang inovatif dan berkelanjutan. Kita perlu mahasiswa teknik yang merancang teknologi ramah lingkungan, mahasiswa ekonomi yang mengembangkan model bisnis berkelanjutan, mahasiswa komunikasi yang mampu mengkampanyekan pesan lingkungan dengan efektif.

Dengan tulisan ini, kami mengajak para pembaca untuk mendaur ulang kesadaran kita, terkait persoalan lingkungan, dari yang hanya tahu lalu melakukan sebuah gerakan baik secara individu maupun kolektif karena perubahan dimulai dari diri sendiri, menyebar ke lingkungan terdekat, dan akhirnya mengubah dunia. []zy

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*