Kondisi emosional anak-anak Indonesia saat ini berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Dekan Fakultas Sosial dan Humaniora Universitas Muhammadiyah Bandung (UM Bandung), Dr. Irianti Usman, M.A., mengungkapkan bahwa di era disrupsi, pola pengasuhan menjadi faktor penentu dalam membentuk perkembangan anak, baik secara mental, sosial, maupun perilaku.
Pernyataan ini disampaikan dalam Seminar “Motekar” yang digelar Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) UM Bandung di Auditorium KH Ahmad Dahlan, Jumat (8/8/2025). Berdasarkan data 2024, tercatat lebih dari 570 kasus kekerasan dan masalah perilaku pada anak, belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan.
“Banyak anak mengalami emosi tidak stabil, bahkan ada yang melakukan tindakan ekstrem seperti pembunuhan,” tegasnya.
Irianti mencontohkan kisah dalam film Adolescence, di mana seorang remaja berusia 13 tahun membunuh teman sekelasnya akibat perundungan di media sosial. Perilaku ini, menurutnya, mencerminkan ketidakmampuan meregulasi emosi yang diwariskan dari pola pengasuhan di rumah.
Kasus serupa juga terjadi di dunia nyata, seperti peristiwa di Bandung ketika seorang anak membunuh gurunya dengan gunting. Lingkungan pergaulan yang toksik di sekolah, paparan pornografi, hingga minimnya kemampuan mengelola stres menjadi faktor pemicu yang memperparah kondisi.
Paparan Pornografi dan Risiko Bunuh Diri
Irianti menyoroti dampak pornografi terhadap pola pikir dan perilaku anak. Ia juga mengungkapkan bahwa 75 persen kasus bunuh diri remaja laki-laki disebabkan oleh hal-hal yang dianggap sepele, seperti tidak dibelikan sepatu atau menjadi korban perundungan.Menurutnya, persoalan ini membutuhkan solusi jangka panjang yang melibatkan keseimbangan asupan bagi pikiran, badan, dan jiwa.
“Banyak orang tua hanya memberi makan tubuh anak, tapi mengabaikan kebutuhan mental dan spiritualnya,” jelasnya.
Lulusan Ball State University, Muncie, Indiana, USA ini menekankan bahwa orang tua harus menjadi model dalam mengelola emosi. Ketidaksabaran dan enggan mendengarkan keluh kesah anak dapat memicu masalah serius. Bahkan, ayah yang mengalami stres dapat menurunkan hormon stres kepada anak.
“Memilih pasangan sebelum menikah adalah langkah awal membangun generasi yang sehat,” pesannya.
Minim Interaksi, Tumbuhnya Emerging Childhood
Era emerged childhood dengan paparan gawai berlebih dan minim interaksi langsung telah menghambat perkembangan sosial-emosional anak. Irianti menawarkan beberapa langkah solutif, antara lain:
- Pelatihan mengenali dan mengelola emosi
- Terapi bermain
- Konseling keluarga
- Pembiasaan perilaku prososial (salam, tolong, maaf, terima kasih)
Irianti mengajak semua pihak membangun fondasi sosial-emosional anak sejak dini. Menurutnya, anak adalah peniru yang baik, sehingga perilaku orang tua dan pendidik menjadi kunci.
“Membentuk generasi unggul bukan hanya soal kecerdasan akademik, tetapi juga kecerdasan emosional dan sosial. Itulah investasi terbesar untuk masa depan bangsa,” tandasnya.
Be the first to comment