
Gelombang demonstrasi yang memuncak pada penghujung Agustus 2025 mendapat perhatian serius dari kalangan akademisi. Dosen Psikologi Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, Dr. Komarudin, M.Psi., Psikolog, menilai bahwa kemarahan publik yang meluas bukan sekadar letupan spontan, melainkan akumulasi kekecewaan rakyat atas kebijakan kontroversial pemerintah dan perilaku elit politik yang dinilai tidak pantas diteladani.
“Fenomena ini memperlihatkan distorsi moral para elit, yang bahkan menormalisasi umpatan pada rakyatnya,” ujar Komarudin dalam paparannya di kampus UNISA Yogyakarta, Senin (1/9).
Sejak 2024, tanda-tanda keresahan publik sudah terlihat melalui tagar viral seperti #PeringatanDarurat dan #IndonesiaGelap. Namun, gejala tersebut kerap diremehkan, bahkan dijadikan bahan lelucon. Kebijakan pemerintah yang menuai kritik, mulai dari larangan penjualan elpiji 3 kg bersubsidi, kenaikan PPN, hingga rencana penyitaan tanah, semakin mempertebal rasa ketidakadilan.
Situasi kian memanas ketika publik menyaksikan gaya hidup mewah serta kenaikan gaji anggota legislatif di tengah krisis ekonomi dan gelombang PHK. Puncaknya, tragedi 28 Agustus 2025, ketika seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob saat aksi di sekitar DPR/MPR. Peristiwa itu menjadi titik balik kemarahan rakyat.
Menurut Komarudin, permintaan maaf dari kalangan elit politik tidak cukup menyembuhkan luka sosial masyarakat.
Restorasi Konflik: Dari Stabilitas hingga Pemulihan Sosial
Sebagai tawaran solusi, Komarudin mengajukan kerangka Restorasi Konflik yang dilakukan secara komprehensif. Ada beberapa tahap penting yang harus ditempuh:
- Penghentian kekerasan dan stabilisasi keamanan, dengan menarik pasukan dan mengurangi tindakan represif. Masyarakat pun diminta menahan diri agar dialog bisa berlangsung.
- Dialog politik inklusif, melibatkan mahasiswa, komunitas ojek online, tokoh masyarakat, akademisi, hingga perwakilan legislatif-eksekutif, untuk merumuskan kesepakatan yang adil.
- Rekonsiliasi, melalui pembentukan tim pencari fakta, pemulihan korban, dan pencegahan aksi balas dendam.
- Reformasi institusi, terutama sektor keamanan dan lembaga legislatif yang kerap dipandang sebagai sumber konflik.
- Kebijakan ekonomi pro-rakyat, berupa penciptaan lapangan kerja serta evaluasi kebijakan nonpopulis yang menimbulkan keresahan.
- Pemulihan sosial, lewat program trauma healing, pendidikan perdamaian, dan pemberdayaan komunitas, dengan kampus sebagai pusat ekosistem demokrasi.
- Perdamaian berkelanjutan, yang dijaga melalui sinergi politik, hukum, ekonomi, dan budaya damai.
“Restorasi konflik urgent dilakukan secara menyeluruh. Perdamaian hanya tercapai jika negara dan masyarakat bekerja sama secara konsisten,” tegas Komarudin.
Komarudin menutup dengan seruan moral agar semua pihak menurunkan tensi emosional dan menjaga kedewasaan berdemokrasi. “Jangan biarkan Ibu Pertiwi bersusah hati, berdemokrasilah secara dewasa,” pungkasnya.
Be the first to comment