AIK atau Kemuhammadiyahan?

AIK atau Kemuhammadiyahan?

Penulis: Prof. Achmad Jainuri, Ph.D. | Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah

Dua pertanyaan penting muncul terkait dengan istilah “Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK).”

Pertama, sekitar akhir tahun lalu seorang Ketua Program Studi “Studi Islam” di Program S-3 Pascasarjana sebuah PTMA menanyakan “Mengapa mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan disingkat AIK? Mengapa bukan IK atau ISMUHA (Islam dan Kemuhammadiyahan)?”

Pertanyaannya benar, karena dalam bahasa Indonesia ada kata serapan, yakni menyerap dari bahasa lain yang kemudian diintegrasikan. Bahasa Indonesia tidak mengenal seperti yang dalam bahasa Inggris disebut definite article (the), atau dalam bahasa Arab disebut ma’rifah (ال). Karena itu, dalam proses serapan sering terjadi perubahan ejaan dan pengucapan agar sesuai dengan norma bahasa Indonesia. Misalnya, al-Islam menjadi Islam, al-taqwa menjadi taqwa, dan seterusnya.

Bahasa Indonesia juga mengenal kata sandang, yakni kata yang tidak memiliki arti khusus tetapi berfungsi sebagai pengiring kata benda untuk memberi informasi tambahan. Contohnya “si,” “sang,” “para,” “kaum,” dan “umat.” Kata sandang adalah kata yang digunakan untuk mendampingi kata benda. Biasanya untuk memberikan penjelasan lebih lanjut atau menunjukkan sifat tertentu dari kata benda tersebut.

Pertanyaan yang perlu dijawab adalah: (1) Apakah penyebutan kata “Islam” dalam statusnya sebagai nama atau keterangan mata kuliah menggunakan kata serapan atau kata sandang, seperti: Studi Islam atau Studi Al-Islam, Universitas Islam Negeri atau Universitas Al-Islam Negeri, Ekonomi Islam atau Ekonomi Al-Islam? (2) Dalam singkatan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan mana yang bisa dipilih: AIK, IK atau ISMUHA?

Jika dianalogikan dengan ISMUBA (Al-Islam, Kemuhammadiyahan, dan Bahasa Arab) di sekolah Muhammadiyah, maka ISMUHA bisa saja dipakai untuk “Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.” Atau, sebetulnya tanpa singkatan pun tidak masalah, cukup disebut Al-Islam dan Kemuhammadiyahan atau Islam dan Kemuhammadiyahan. Pilihan pertama menggunakan “Al” (ma‘rifah), sedangkan pilihan kedua tanpa “Al” (nakirah).

Singkatan AIK jika dibandingkan dengan singkatan lain yang ada kata “Islam” nampak tidak konsisten. Tetapi itulah bahasa, semakin orang terbiasa mengucapkannya (meskipun salah) ya tetap saja digunakan.

Kedua, sekitar akhir Mei lalu, seorang Rektor PTMA papan atas mengusulkan “Kemuhammadiyahan” sebagai ganti “Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.” Padahal, selama ini dua kata “Al-Islam dan Kemuhammadiyahan” telah menyatu menjadi ciri khas pendidikan Muhammadiyah. Apa rasional argumentasinya?

Kemuhammadiyahan itu sesungguhnya model implementasi Islam awal abad ke-20 sampai sekarang (waktu), di Indonesia (ruang). Jadi dalam kata “Kemuhammadiyahan” memuat Islam yang terdiri dari: aqidah sebagai landasan semua aspek kehidupan; ibadah, mu’amalah diniyah dan dunyawiyah, serta akhlaq Islam. Secara ringkas, “Islam dalam Muhammadiyah” dirumuskan dalam Risalah Islam Berkemajuan (RIB), dan merupakan sumber ideologi penting Muhammadiyah. Dahulu, mata kuliah ini bahkan dikenal dengan singkatan KMD (Kemuhammadiyahan).

“Islam (paham) Muhammadiyah” ini melahirkan pribadi yang paham tentang ajaran aqidah dan ibadah Islam serta mengamalkannya secara rutin sesuai dengan tuntunan syari’ah. Sehingga membentuk Nilai Etika Moral Islam: Keikhlasan, Amanah, berpihak kepada kebenaran, sabar. Kemudian, Nilai Etika Moral Sosial: disiplin, kerja keras, optimis akan selalu berhasil dalam melakukan sesuatu, literasi, menerima perubahan, rasional, tepat waktu, adaptif, mobilitas tinggi, orientasi jangka panjang, pluralitas, toleransi, dan moderasi.

Dalam konteks Gerakan Tajdid Muhammadiyah, “Islam Muhammadiyah” merupakan jawaban terhadap tantangan kemunduran kehidupan keagamaan umat Muslim. Bentuk gerakan lebih mengarah pada gerakan purifikasi, sasarannya pada pemberantasan bid’ah, khurafat, dan takhayyul (kaitannya dengan kurikulum AIK) dan; hal yang terkait dengan aspek peribadatan, seperti: pembetulan arah kiblat yang diinisiasi oleh Ahmad Dahlan sebelum Muhammadiyah didirikan dan yang terbaru adalah ditetapkannya Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT).

Kemudian, “Islam Muhammadiyah” merupakan jawaban terhadap tantangan perubahan dan kemajuan yang dihadapi kaum Muslim. Jawaban yang dilakukan merupakan modernisasi yang bertujuan merubah apa yang ada menjadi yang seharusnya. Aspek yang ditekankan adalah perubahan dalam bidang sosial, politik, budaya, ekonomi yang cakupannya di luar ibadah mahdhah. Gerakan pada aspek ini dilandasi oleh nilai etika moral sosial yang telah tertanam dalam diri setiap Muslim.

Oleh karena itu, di dalam Kemuhammadiyahan, Islam sudah ada dan melekat di dalamnya dan merupakan bagian sangat vital yang melandasi gerakan serta merupakan driving force yang menuju pada perubahan dan kemajuan. Ada dialektika yang terus berulang, Islam yang ada dalam Kemuhammadiyahan menjadi norma bagi pelaksanaan program Persyarikatan. Demikian juga pelaksanaan program Persyarikatan di lapangan merupakan bahan penting untuk merumuskan norma baru.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*