
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan signifikan. Dari 57 juta orang pada 2019 menjadi hanya 48 juta orang pada 2024. Penurunan ini menunjukkan peningkatan jumlah kelompok masyarakat berpendapatan rendah, yang pada akhirnya mencerminkan proses pemiskinan yang terus berlangsung.
Kelas menengah, yang sebagian besar terdiri dari pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), memiliki peran penting dalam perekonomian. Mereka menyumbang besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menciptakan lapangan kerja. Namun, penurunan kelas menengah ini sekaligus menandakan terjadinya deindustrialisasi yang berkepanjangan. Kontribusi sektor industri terhadap PDB menurun dari 25% pada 1995, menjadi 20% pada 2015, dan diperkirakan hanya 18% pada 2024.
Menurunnya peran sektor industri berkaitan erat dengan berkurangnya daya beli dan pendapatan kelas menengah. Akibatnya, permintaan terhadap barang tahan lama seperti mobil, motor, dan properti juga ikut menurun. Kondisi ini memaksa kelas menengah melakukan penyesuaian prioritas belanja untuk memenuhi kebutuhan dasar terlebih dahulu.
Di sisi lain, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah juga menghadapi tekanan yang sama. Hal ini tercermin dari menurunnya omzet usaha mikro di sektor makanan dan minuman. Para konsumen dengan pendapatan rendah terpaksa mengalihkan pengeluaran mereka hanya untuk kebutuhan esensial demi bertahan hidup.
Melihat permasalahan di atas, melalui konsep zero sum game, pertumbuhan ekonomi sebesar 5% yang tercatat setiap tahun tampaknya lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat atas (terkaya). Struktur ekonomi semakin mengarah pada ketimpangan, monopoli, atau oligopoli, serta menciptakan struktur piramida kerajaan bisnis.
Contohnya, sebagian besar restoran kini bergantung pada aplikasi pengantaran makanan yang dikuasai oleh tiga pemain utama. Restoran tersebut harus menyisihkan sekitar 25% dari pendapatannya untuk para penyedia layanan ini. Hal ini menggambarkan struktur ekonomi yang menyerupai hubungan antara raja dan semut pekerja.
Kondisi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ekonomi syariah, seperti larangan riba, gharar (ketidakpastian yang tidak wajar), dan maisir (spekulasi berlebihan yang mendekati perjudian). Bahkan, maraknya judi online memperburuk ketimpangan, mengalirkan uang dari kelompok terbawah ke kelompok teratas. Prinsip keadilan yang menjadi pilar utama ekonomi syariah, jelas tidak tercapai dalam struktur ekonomi yang ada saat ini. Beban pajak yang semakin tinggi, atau wacana kenaikan pajak, hanya memperburuk ekspektasi dan semangat usaha masyarakat.
Penurunan kelas menengah dan peran UMKM dalam sektor industri dan jasa pada akhirnya juga akan berdampak pada sektor perbankan. Termasuk perbankan syariah yang banyak melayani kebutuhan UMKM. Meski ekonomi terus tumbuh, pertanyaan klasik tetap relevan: untuk siapa pertumbuhan ini sebenarnya, dan kapan manfaatnya akan benar-benar dirasakan oleh lapisan masyarakat terbawah? []ic
Be the first to comment