Kontroversi UU Penyiaran, Dosen Ilmu Komunikasi UMY: Proses Revisi Harus Dihentikan

Civitas Akademika Ilmu Komunikasi UMY: Hentikan Revisi UU Penyiaran
Civitas Akademika Ilmu Komunikasi UMY: Hentikan Revisi UU Penyiaran

Sivitas akademika Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyelenggarakan Press Conference “Pernyataan Sikap Terkait Kontroversi Revisi Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran” pada Jum’at (24/04/2024). Agenda ini dilaksanakan sebagai bentuk menyikapi dan menentang tegas atas revisi UU penyiaran yang saat ini tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. 

Fajar Junaedi sebagai perwakilan sivitas akademika Program Studi Ilmu Komunikasi UMY mengusulkan agar pemerintah dan DPR RI menghentikan proses revisi UU Penyiaran. Ia juga menekankan pentingnya melibatkan banyak masyarakat sipil dalam perancangan revisi UU Penyiaran untuk memastikan bahwa semua pihak yang terdampak dapat memberikan masukan dan terlibat secara aktif dalam proses legislasi. “Berbagai pihak seperti jurnalis peneliti yang berkaitan dengan riset media, akademisi, dan berbagai kalangan harus dilibatkan dalam revisi ini,” paparnya.

Menurut Fajar, dihilangkannya partisipasi publik membuat pembahasan ini sangat top-down. “Undang-undang dibentuk oleh elit politik dan masyarakat sipil hanya diminta  untuk mengikuti. Hal itu terlihat dari minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh DPR,” ujarnya dalam pernyataan sikap sivitas akademika Ilmu Komunikasi UMY. 

Senja Yustitia, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UMY juga menyampaikan bahwa proses revisi undang-undang ini seharusnya menerapkan prinsip kehati-hatian. Sebab mengatur tentang penggunaan frekuensi penyiaran yang merupakan milik publik dan jumlahnya terbatas. “Menghentikan. Jadi kalau kami sikapnya adalah mengusulkan agar pemerintah dan DPR RI menghentikan proses revisi, menghentikan,” paparnya. Ia juga menambahkan, jika nantinya ada pembahasan lanjutan, harus dimulai dari awal lagi dengan memperhatikan sifat keterbukaan dan keterlibatan publik secara luas.

Berbagai pihak seperti jurnalis, peneliti yang berkaitan dengan riset media, akademisi dan berbagai kalangan harus dilibatkan dalam revisi ini perlu dilibatkan. Namun nyatanya, pihak-pihak tersebut justru diabaikan dari pembahasan. Proses yang terburu-buru itu membuat partisipasi masyarakat pun diabaikan. Sehingga menurut Senja memang langkah paling bijak dalam RUU Penyiaran ini adalah dihentikan dulu.

Sementara itu, pada aspek isi, Fajar menilai bahwa terdapat beberapa pasal yang dapat menghalangi kebebasan pers Indonesia seperti adanya larangan konten jurnalisme investigasi. Padahal jurnalisme investigasi merupakan salah satu strategi pers dalam mengawasi jalannya pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif) sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate). Demikian juga pasal yang menyatakan bahwa konten siaran di internet harus patuh pada Standar Isi Siaran (SIS), dan KPI diberikan wewenang untuk melakukan penyensoran di media sosial. Ancaman lain bahwa pemberitaan di media dapat dijerat dengan pasal pencemaran nama baik. Poin ini sangat mengancam kemerdekaan pers di Indonesia.

Kritik serta saran segenap sivitas akademika Ilmu Komunikasi UMY diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam diskusi lebih lanjut  mengenai revisi UU Penyiaran di DPR RI, demi mencapai regulasi yang adil dan demokratis. []nis

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*