Di tengah derasnya arus globalisasi ilmu pengetahuan yang kerap didominasi teori Barat, seorang dosen muda Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB), Dr. Andi Azhar, hadir membawa suara berbeda. Pada 1st International Forum on Decolonization yang digelar di Universiti Sains Malaysia (USM), Penang, Kamis (4/9), ia berdiri sejajar dengan para pakar internasional untuk menyuarakan pentingnya mengangkat kearifan lokal Indonesia dalam percakapan akademik global.
Forum yang bertajuk “APEX Agenda & Future of Higher Education” itu menghadirkan akademisi lintas negara. Mereka membicarakan dekolonisasi pengetahuan, sebuah agenda strategis untuk mengurangi dominasi perspektif Barat dalam pendidikan tinggi.
Dalam paparannya berjudul “Decolonization of Management Knowledge from an Indonesian Perspective”, Andi mengangkat praktik manajemen khas Nusantara: gotong royong, musyawarah, koperasi, hingga model BUMDes. Semua itu, menurutnya, adalah sumber pengetahuan yang relevan untuk memperkaya teori manajemen dunia.
“Praktik manajemen berbasis kearifan lokal bukan hanya fenomena budaya, melainkan sumber pengetahuan yang valid bagi teori manajemen global. Kita perlu mengontekstualisasikan teori Barat agar sesuai dengan realitas sosial Indonesia,” tegasnya.
Meski tidak menolak sepenuhnya teori arus utama, Andi menekankan perlunya keberanian untuk menghadirkan pengetahuan dari pengalaman bangsa sendiri.

Kehadiran Andi Azhar di forum ini adalah bagian dari program UMB Global Pathways, inisiatif strategis kampus untuk mendorong internasionalisasi, mobilitas akademik, dan kolaborasi riset global. Program ini menjadi bukti nyata bahwa UMB bukan hanya konsumen ilmu pengetahuan, tetapi juga mulai berkontribusi sebagai produsen gagasan di level dunia.
Rektor dan jajaran UMB menilai, partisipasi ini sekaligus memperlihatkan posisi Muhammadiyah dalam mengangkat isu-isu besar dunia, dari perspektif lokal yang sering terpinggirkan.
Forum ini juga menghadirkan tokoh-tokoh terkemuka seperti Prof. Emeritus Tan Sri Dato’ Dr. Dzulkifli Abdul Razak, mantan Rektor IIUM Malaysia; Dr. Imron Sohsan dari Khon Kaen University, Thailand; dan Dr. Abdul Rahman Bin Mad Ali @ Abang dari USM. Diskusi dipandu oleh Prof. Madya Dr. Ellisha Nasruddin.
Para pembicara sepakat bahwa proses nusantaraisasi atau indigenisasi ilmu pengetahuan harus menjadi prioritas perguruan tinggi di kawasan Asia Tenggara. Forum ini bahkan menutup rangkaian acaranya dengan komitmen membentuk Southeast Asian Decolonization and Indigenization Network, jejaring akademik regional untuk mendorong riset dan publikasi berbasis konteks Asia Tenggara.
Bagi UMB, keterlibatan Dr. Andi Azhar adalah momentum strategis untuk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kapasitas besar dalam percakapan akademik dunia. Dengan membawa praktik sosial dan budaya lokal ke forum internasional, Indonesia tidak hanya menegaskan identitasnya, tetapi juga memberi inspirasi bahwa kearifan lokal punya nilai universal.
Partisipasi ini diharapkan memberi motivasi bagi dosen dan mahasiswa Muhammadiyah lainnya untuk aktif dalam riset dan forum internasional. Sebab, hanya dengan itulah universitas di Indonesia mampu mencetak lulusan berwawasan global sekaligus menjaga akar lokalnya.
“Dekolonisasi pengetahuan adalah jalan agar universitas di Indonesia tidak sekadar mengejar standar Barat, tapi juga berkontribusi dengan perspektif dan pengalaman sendiri.”
Dengan langkah ini, UMB kembali menegaskan komitmennya menjadi kampus berdaya saing global tanpa kehilangan pijakan lokal.
Be the first to comment