
Oleh: Dedek Helida Pitra | Dosen Universitas Muhammadiyah Muara Bungo Jambi
Di tengah derasnya arus informasi dan derasnya pengaruh ideologi global, institusi pendidikan tinggi tidak lagi bisa hanya menjadi menara gading yang jauh dari realitas sosial. Lebih-lebih bagi kampus-kampus yang bernaung di bawah Persyarikatan Muhammadiyah, sebuah gerakan dakwah yang sejak awal telah memposisikan ilmu sebagai poros utama pembebasan dan pencerahan umat. Muncul pertanyaannya, sejauh mana kampus-kampus Muhammadiyah hari ini, khususnya di daerah, tampil sebagai “Brand Ambassador” dakwah Islam berkemajuan yang tidak hanya eksis dalam Statuta, Renstra, dan SPMI tetapi benar-benar hidup dalam denyut nadi masyarakat.
Kampus Muhammadiyah seharusnya menjadi mercusuar peradaban. Ia bukan hanya tempat mahasiswa datang dan pergi mengejar gelar akademik, lalu pulang tanpa bekas. Lebih dari itu, kampus Muhammadiyah adalah ruang strategis untuk menanamkan nilai-nilai Islam berkemajuan yang inklusif, mencerahkan, dan mampu menjawab tantangan perubahan zaman.
Namun sayangnya, ada kesan kuat bahwa kampus Muhammadiyah di daerah mulai menjauh dari denyut sosial masyarakat, kehilangan ruh gerakan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi jantung gerakan, yang bisa kita lihat kurangnya kampus terlibat dalam aktivitas masyarakat sekitar. Seakan-akan ada tembok pembatas antar dinding kampus dan lingkungan sosial masyarakat. Alih-alih menjadi pelopor isu sosial, peduli kaum lemah, atau penggerak gerakan keumatan. Kampus masih sibuk dengan urusan administrasi, akreditasi, dan rutinitas akademik yang kering makna. Padahal, masyarakat di sekitar menunggu sentuhan dakwah, inspirasi perubahan, dan kepemimpinan moral dari institusi yang seharusnya menjadi representasi nyata dari semangat Kyai Ahmad Dahlan.
Kita hidup di era digital, dunia sedang mencari makna baru, identitas baru, bahkan spiritualitas baru di tengah gempuran teknologi yang mengikis batas fisik dan ideologis. Di sinilah kampus Muhammadiyah harus mengambil peran, tidak hanya sebagai konsumen tren, tetapi produsen nilai. Bayangkan jika seluruh dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan Muhammadiyah di daerah aktif memproduksi konten dakwah digital yang cerdas, santun, dan mencerahkan. Bayangkan jika media sosial kampus menjadi etalase akhlak Islam, pusat kajian kemanusiaan, dan forum akademik terbuka untuk ide-ide pembaharuan. Bukankah itu dakwah paling relevan hari ini?
Dari Kampus ke Komunitas
Kita harus berani mengoreksi diri. Kampus Muhammadiyah sebagai brand ambassador tidak boleh puas dengan prestasi administratif. Yang lebih penting adalah sejauh mana kampus mampu menanamkan nilai Islam berkemajuan ke dalam masyarakat. Apakah masyarakat di sekitar kampus merasakan kehadiran nilai-nilai Muhammadiyah? Apakah kader-kader muda Muhammadiyah yang menjadi dosen dan mahasiswa benar-benar hadir sebagai agen perubahan?
Ini bukan hanya soal reputasi institusi, tapi soal keberlangsungan dakwah. Dakwah hari ini tidak bisa lagi hanya mengandalkan mimbar dan ceramah. Ia harus masuk ke ruang digital, dialog publik, komunitas-komunitas lingkungan kampus, bahkan ke algoritma media sosial. Kampus Muhammadiyah harus berani menjadi pelopornya.
Kita tidak sedang membangun kampus untuk sekadar ikut dalam kompetisi. Kita sedang membangun peradaban. Kampus Muhammadiyah harus menjadi benteng ideologis, sekaligus jembatan solusi. Kampus harus menyatu dengan denyut nadi masyarakat, menjadi teman bagi kaum muda, dan menjadi cahaya bagi yang mencari arah.
Jadikanlah kampus sebagai wadah aksi nyata bagi kita semua para kader, dosen, mahasiswa, pimpinan kampus dan sivitas akademika. Jika bukan kita yang meneguhkan peran kampus sebagai Brand Ambassador dakwah Islam berkemajuan, siapa lagi? dan jika bukan sekarang, kapan lagi?
Be the first to comment