
Dalam suasana khidmat di Auditorium Ukhuwah Islamiyah, Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) mengukuhkan Jebul Suroso, sebagai Guru Besar dalam bidang Manajemen Keperawatan, Kamis (10/4/2025). Pengukuhan ini menjadi momen penting, tak hanya bagi Prof. Jebul, tapi juga bagi keluarga besar Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA) yang hadir menyemarakkan acara.
Dalam acara tersebut, terselip pernyataan tegas dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir. Dalam amanatnya, beliau mengingatkan PTMA agar tetap memegang prinsip dalam dunia akademik, termasuk dalam soal pemberian gelar profesor kehormatan.
“PTMA jangan latah memberi gelar profesor kehormatan. Ini instruksi Ketua Umum, meski belum tertuang dalam surat resmi,” tegas Prof. Haedar.
Ketegasan Haedar Nashir, soal larangan pemberian gelar profesor kehormatan di lingkungan PTMA bukan sekadar pesan etis, melainkan refleksi komitmen Muhammadiyah menjaga marwah akademik.
Irwan Akib selaku Ketua PP Muhammadiyah Bidang Pendidikan, Budaya, dan Olahraga, menegaskan bahwa profesor bukan gelar sosial yang bisa dikasih karena popularitas atau kekuasaan, tapi jabatan ilmiah yang dicapai lewat proses panjang dan bermakna. Di tengah maraknya feodalisme gelar, sikap Muhammadiyah jadi penegas bahwa integritas ilmiah tak bisa dinegosiasikan.
Pernyataan ini disampaikan sebagai sikap Muhammadiyah dalam menjaga integritas akademik. Bagi Muhammadiyah, profesor bukan gelar simbolik, melainkan jabatan akademik yang diperoleh melalui proses yang ketat dan bertahap, dari asisten ahli hingga guru besar.
Jabatan Akademik Bukan Penghargaan Simbolik
Irwan Akib, juga menegaskan sikap ini saat diwawancarai media, pada Jumat (11/4/2025). Menurutnya, profesor bukan gelar sosial apalagi politik. Ia adalah jabatan akademik yang hanya bisa disandang oleh dosen aktif yang telah menempuh tahapan karier secara akademis.
“Adanya profesor kehormatan memang diatur dalam Permendikbudristek No. 38 Tahun 2021. Tapi secara etika, perlu dikaji ulang: apakah patut orang non-akademik tiba-tiba menyandang jabatan akademik tertinggi hanya karena dianggap punya kompetensi luar biasa?” ujar Irwan.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan urgensi pemberian gelar profesor kehormatan. Bukankah kontribusi dan keahlian seseorang bisa dihargai dengan penghargaan yang relevan tanpa menyematkan embel-embel akademik?
Muhammadiyah: Akademik Tak Boleh Tergadaikan
Dalam budaya akademik yang sehat, kredibilitas dibangun lewat kerja ilmiah, bukan lewat popularitas atau jabatan di luar kampus. Muhammadiyah, lewat PTMA-nya, ingin menegakkan marwah ini. Apresiasi terhadap tokoh publik atau profesional di luar dunia akademik bisa dilakukan dengan cara lain, misalkan kuliah umum, menjadi dosen tamu, atau penghargaan profesional lainnya. Tapi tidak dengan “jalan pintas” menyandang profesor.
Fenomena “gelar sebagai status sosial” masih kuat di masyarakat kita. Bahkan tak sedikit orang yang merasa tak lengkap tanpa gelar di depan namanya. Ironisnya, mental feodal semacam ini juga masih menjangkiti kalangan terpelajar. Maka tak heran jika pemberian gelar kehormatan kadang lebih berbau politik pencitraan ketimbang semangat keilmuan.
Muhammadiyah dengan tegas menolak jadi bagian dari budaya simbolik semacam itu. Bagi Muhammadiyah, profesor adalah amanah ilmiah, bukan penghargaan seremoni. []ic
Be the first to comment