PTMA sebagai Penjaga Warisan Intelektual dan Spirit Kemajuan

PTMA sebagai Penjaga Warisan Intelektual dan Spirit Kemajuan
PTMA sebagai Penjaga Warisan Intelektual dan Spirit Kemajuan

Oleh Moh. Mudzakkir | Pemimpin Redaksi Warta PTMWakil Sekretaris Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah

Dalam What Are Universities For? Stefan Collini (2012) menyampaikan bahwa universitas adalah institusi yang berfungsi untuk “memelihara, memahami, mengembangkan, dan mewariskan warisan intelektual, ilmiah, dan artistik dari satu generasi ke generasi berikutnya.” Pandangan ini menggarisbawahi bahwa universitas bukanlah sekadar ruang pelatihan profesional atau pabrik pencetak ijazah, melainkan juga sebagai pusat produksi makna dan pengelolaan warisan intelektual masyarakat.

Jika universitas hanya dimaknai sebagai instrumen pembangunan ekonomi atau penyedia tenaga kerja pasar, maka kita telah memangkas peran terdalam universitas sebagai penjaga nurani kolektif masyarakat. Universitas adalah tempat di mana ide-ide besar dikritisi, nilai-nilai diuji, dan warisan budaya ditafsirkan kembali dalam konteks zaman. Dalam pengertian ini, universitas berfungsi bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tetapi untuk menjaga kemungkinan masa depan—to preserve the possibility of alternative futures. Maka dari itu, universitas tidak dapat tunduk sepenuhnya pada logika utilitarianisme atau dikendalikan oleh efisiensi pasar semata. Ia harus berdiri sebagai ruang reflektif yang menjamin keberlanjutan dialog antargenerasi.

Bagi Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA), misi tersebut tidak hanya bersifat universal, tetapi juga sangat kontekstual. PTMA tidak hanya bertanggung jawab dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga memiliki amanat historis dan kultural untuk mendokumentasikan, menafsirkan, dan meneruskan jejak pemikiran, sejarah, dan perkembangan Muhammadiyah di wilayah di mana kampus itu berdiri. Fungsi ini penting karena setiap PTMA berada dalam konteks sosial, geografis, dan kultural yang khas, sehingga mendokumentasikan dinamika lokal Muhammadiyah bukan hanya sebagai rekam jejak sejarah, tetapi sebagai bentuk epistemologi alternatif dari bawah (from below), yang selama ini kerap terpinggirkan dalam narasi besar nasional dan global.

Di banyak tempat, jejak Muhammadiyah tidak hanya hadir dalam bentuk amal usaha, tetapi juga dalam bentuk spirit perjuangan, pemikiran keagamaan, dan praksis sosial yang khas. Sayangnya, tanpa dokumentasi dan riset yang sistematis, banyak warisan intelektual dan sosial ini terancam hilang ditelan waktu. Di sinilah peran strategis PTMA sebagai pusat dokumentasi gerakan Muhammadiyah menjadi sangat krusial—sebagai ruang pengetahuan yang bukan hanya melihat ke masa depan, tetapi juga menggali kedalaman masa lalu lokal yang membentuk jati diri umat dan bangsa. Jika tidak ada institusi yang secara sadar dan sistematis mengumpulkan, menafsirkan, dan menyebarkan warisan ini, maka akan terjadi disconnection antara generasi muda Muhammadiyah dengan akar historis dan nilai-nilai pendirinya.

Namun kerja konservasi tidak berhenti pada pelestarian. Tahap lanjutan yang tak kalah penting adalah mendesiminasikan temuan dan warisan intelektual tersebut kepada khalayak yang lebih luas. PTMA harus menjadi produsen pengetahuan yang aktif membagikan hasil riset dan dokumentasinya dalam berbagai bentuk publikasi—baik ilmiah seperti jurnal, prosiding, dan buku akademik, maupun populer seperti artikel media massa, film dokumenter, platform digital, atau seni visual. Diseminasi ini perlu menjangkau komunitas internal Muhammadiyah, publik Indonesia, hingga masyarakat internasional, agar warisan pemikiran Muhammadiyah tidak hanya menjadi milik sejarah lokal, tetapi juga berkontribusi pada perbincangan peradaban global. Diseminasi ini juga menjadi instrumen penting dalam menjawab tantangan globalisasi: bagaimana identitas lokal dapat berbicara dalam bahasa universal tanpa kehilangan jati diri?

Lebih dari itu, praktik-praktik baik Muhammadiyah—dalam bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan sosial, maupun respons kebencanaan—perlu dinaikkan ke level teorisasi akademik. PTMA harus mengambil peran untuk mengembangkan kerangka analitis yang mampu membaca praktik-praktik ini tidak hanya sebagai kerja teknis, melainkan sebagai manifestasi nilai, etika sosial, dan gagasan keadilan yang khas. Dengan membingkai praktik tersebut dalam perspektif teoritik—misalnya dengan menggunakan pendekatan gerakan sosial, teori kelembagaan, atau epistemologi Islam progresif—PTMA dapat menjadikan Muhammadiyah sebagai model of indigenous knowledge system yang valid dan relevan dalam diskursus akademik global. Inilah yang Collini maksud sebagai universitas yang berfungsi untuk interpretive understanding, bukan hanya instrumental rationality. Teorisasi ini penting agar praktik-praktik inovatif Muhammadiyah tidak hanya menjadi laporan kegiatan, tetapi naik kelas sebagai sumber gagasan ilmiah dan konseptual.

Di sinilah letak fungsi universitas yang visioner: menjadi moral memory of the society dan sekaligus critical consciousness yang tidak tunduk pada tekanan jangka pendek pragmatisme pasar atau politik kekuasaan. PTMA, dengan akar nilai Islam berkemajuan, harus terus membangun nalar publik yang mencerahkan, bukan hanya dalam bentuk pengajaran formal, tetapi juga lewat kerja-kerja kebudayaan, advokasi nilai, dan revitalisasi memori gerakan. Tanpa fungsi kritis dan historis ini, universitas hanya akan menjadi operator sistem, bukan penggerak “api” perubahan.

Melalui pusat studi Muhammadiyah, pengembangan literatur lokal, penulisan sejarah tokoh-tokoh Muhammadiyah setempat, hingga integrasi nilai-nilai gerakan dalam kurikulum dan kegiatan akademik, PTMA sejatinya tengah menjalankan misi konservasi dan transmisi peradaban. Merekam pemikiran, perjuangan, dan kontribusi Muhammadiyah dari akar rumput menjadi bagian dari upaya menjaga memori kolektif umat dan memperkuat identitas gerakan Islam berkemajuan.

Lalai terhadap sejarah gerakan Muhammadiyah adalah jalan menuju terputusnya generasi dari nilai dan arah perjuangan. PTMA, dalam hal ini, memegang peran strategis sebagai pengawal ingatan—yang tidak hanya merekam, tetapi menafsirkan dan meneruskan nilai-nilai luhur Muhammadiyah ke dalam bahasa zaman. Dalam masyarakat yang semakin dipenuhi oleh disrupsi dan disinformasi, memori institusional menjadi benteng terakhir dari warasnya peradaban.

PTMA bukan sekadar universitas dalam pengertian struktural, tetapi institusi yang menjadi saksi dan penyambung napas sejarah perjuangan Muhammadiyah dari masa ke masa. Dengan cara inilah PTMA turut serta mewujudkan universitas sebagai institusi kebudayaan, seperti yang diidealkan oleh Stefan Collini (2012)—menjadi pelestari, penyambung, dan penyebar warisan intelektual dan spiritual demi masa depan yang tercerahkan.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*