Sosialisasi Anti-Bullying di Sekolah, UMMAD Tanamkan Nilai Kebersamaan dan Keberanian Sejak Dini

Dosen Universitas Muhammadiyah Madiusn lakukan sosisalisasi anti bullying di sekolah (Dok. UMMAD)
Dosen Universitas Muhammadiyah Madiusn lakukan sosisalisasi anti bullying di sekolah (Dok. UMMAD)

Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman untuk belajar, justru menjadi arena perundungan yang mengancam masa depan anak-anak Indonesia hingga saat ini. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melaporkan bahwa sepanjang tahun 2023 kasus bullying terus meningkat. Terutama di Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang menjadi lahan subur bagi aksi perundungan, yakni sebanyak 50 persen kasus terjadi.

Sebagai upaya mengurangi kasus tersebut, dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Madiun (UMMAD), Awit Istighfarin, SIKom MMed Kom melakukan pengabdian masyarakat dengan mengusung “Stop Bullying” kepada siswa kelas 1-5 MI Muhammadiyah Kota Madiun dengan total 150 siswa. Sebelumnya, Awit juga telah melakukan kegiatan serupa di SD Negeri 1 Demangan.

Sosialisasi Anti-Bullying, Ajak Siswa Lebih Akrab dan Berani

Pelaksanaan pengabdian masyarakat yang telah berlangsung pada Kamis, 18 Juli 2024 ini juga mengikutsertakan dua mahasiswa Prodi Ilkom UMMAD, yakni Dita Nooraini dan Miftahudin. Awit Istighfarin menjelaskan bahwa pengabdian masyarakat yang dilakukannya karena melihat maraknya persoalan bullying, terutama di sekolah. 

“Bentuk bullying itu terjadi dalam berbagai macam, mulai dari fisik, verbal atau cyber bullying. Masalah ini tentu mempengaruhi psikologi siswa atau peserta didik,” terangnya.

Awit bersama mahasiswanya melakukan sosialisasi bullying kepada peserta didik sekolah dasar dengan mengumpulkan semua siswa dalam ruangan besar. Lalu, kelompok tersebut dibagi menjadi 5 kelompok kecil berisi siswa kelas 1 sampai kelas 5 dengan memisahkan siswa didik putra dan siswa didik putri. “Pengelompokan yang terdiri dari siswa kelas 1 sampai kelas 5 itu agar mereka lebih akrab satu sama lain,” pungkasnya.

Awit menilai, bullying terjadi karena ada senioritas, sehingga dengan dibentuknya kelompok kecil tersebut bisa mengakrabkan masing-masing anggota kelompok. Masing-masing kelompok, lanjut Awit, dilatih untuk berani menyampaikan pendapat. Salah satunya dengan cara diberi tugas untuk menggambar ekspresi perasaan siswa bila mengalami bullying.

Dalam sosialisasi, para siswa mendapat pemaparan materi tentang bullying serta dampaknya. “Di akhir sesi, seluruh siswa kami ajak untuk bernyanyi anti bullying. Cara ini dipilih sebagai salah satu cara untuk mengajak anak-anak untuk tidak melakukan bullying,” jelas Awit.

Sosialisasi Anti-Bullying Berkelanjutan

Melalui kegiatan, Awit menyampaikan pihak sekolah sangat mengapresiasi. “Para guru menilai bahwa sosialisasi anti bullying ini sangat baik. Mereka juga berharap dapat dilakukan secara berkelanjutan. Sebab, para siswa juga bisa memahami pentingnya masalah anti bullying selain dari guru,”.

Selama melakukan sosialisasi, Awit melihat antusiasme siswa dalam mengikuti sosialisasi anti-bullying memberikan harapan baru memberantas perundungan di sekolah. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menunjukkan kesadaran mereka akan pentingnya memahami dan melawan tindakan bullying.

“Banyak siswa yang bertanya mengenai apa yang harus dilakukan ketika menghadapi bullying. Sosialisasi seperti ini memang harus sering dilakukan sebagai tindakan preventif terhadap persoalan bullying,” tutup Awit. []ron

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*