Mahasiswa UMY Lakukan Riset Bongkar Paradoks Kesepian di TikTok

Mahasiswa UMY Lakukan Riset Bongkar Paradoks Kesepian di TikTok
Mahasiswa UMY Lakukan Riset Bongkar Paradoks Kesepian di TikTok

Fenomena kesepian di tengah kehidupan bermedia sosial, kian akrab dengan generasi muda. Linimasa dipenuhi video hiburan, konten motivasi, hingga kisah personal yang tampak dekat secara emosional. Namun di balik layar, banyak pengguna tetap merasa terasing dari kehidupan sosial nyata.

Fenomena paradoks ini menjadi perhatian mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), yang kemudian melahirkan riset berjudul “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual”. Riset tersebut berhasil lolos seleksi Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) 2025 dan mendapatkan pendanaan Rp6,2 juta dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdiktisaintek).

Fifin Anggela Prista selaku ketua tim, mengungkapkan ide penelitian muncul dari pengamatan sehari-hari terhadap kebiasaan Gen Z yang hampir selalu berselancar di media sosial, khususnya TikTok. Menurutnya, situasi tersebut memunculkan pertanyaan mendasar yakni mengapa seseorang bisa begitu aktif di dunia maya tetapi minim interaksi sosial langsung.

“Setelah diskusi dengan anggota tim, kami menyadari pengalaman serupa juga dialami banyak orang di sekitar. Akhirnya kami mulai riset kecil-kecilan, mencari tahu efek penggunaan media sosial yang berlebihan, dan menemukan ada keterkaitan dengan rasa kesepian, insecure, bahkan masalah kesehatan mental,” jelas Fifin saat diwawancarai pada Kamis (14/8).

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tim yang beranggotakan Fifin Anggela Prista, Gifatul Hidayah, Najwa Aulia Habibah, Rossy Safitri Putra Pratama, dan Muhammad Rasyid Ridha menggunakan metode kualitatif. Pendekatan ini dipilih agar bisa menggali pengalaman personal para pengguna TikTok secara mendalam.

“Di satu sisi, konten di media sosial adalah hasil rekayasa. Tapi di sisi lain, orang tetap mengonsumsi dan bahkan mengamini narasi tersebut. Menurut teori hiperrealitas, representasi digital kerap dianggap lebih ‘nyata’ daripada realitas itu sendiri, sehingga emosi yang dibentuk media bisa mempengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang,” ungkapnya.

Hasil pengamatan awal menunjukkan banyak akun TikTok yang memproduksi ulang narasi kesepian dengan sentuhan estetik dan emosional. Seperti kutipan tentang hubungan, kehilangan, atau perasaan terasing. Konten tersebut sering dibagikan ulang oleh pengguna sebagai bentuk coping stress, yaitu cara menyalurkan perasaan melalui media sosial.

“Konten yang dibuat orang lain sering merepresentasikan diri kita, entah itu soal pencapaian orang lain atau cerita emosional seperti percintaan. Walau sebagian bersifat komersial, pengguna tetap membagikannya karena merasa itu mewakili perasaan mereka,” tutur Fifin.

Namun, kebiasaan tersebut memicu efek domino. Semakin sering pengguna membagikan konten kesepian, semakin banyak pula konten serupa yang muncul di linimasa akibat algoritma TikTok. Di mana penelitian menunjukkan bahwa semakin sering terpapar konten kesepian, semakin tinggi risiko mengalami gangguan kesehatan mental.

Melihat potensi dampak yang lebih luas, tim Hypercrowd berencana menggandeng Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk mengembangkan strategi literasi digital dan manajemen penggunaan gawai.

“Harapannya penelitian ini bisa memberikan inovasi dalam penanganan isu literasi digital dan kesehatan mental, khususnya di kalangan Gen Z. Karena kesepian sering dianggap masalah pribadi. Padahal, dari hal-hal yang terlihat sepele ini, dampaknya bisa besar bagi kesehatan mental generasi muda,” tutupnya. (NF)

umy.ac.id

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*