Di balik wajah ceria remaja Indonesia, tersimpan fakta yang mencemaskan. Satu dari tiga remaja di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental, setara dengan 15,5 juta jiwa. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin rapuhnya fondasi keluarga sebagai tempat tumbuh generasi muda.
Fakta itulah yang disoroti oleh Prof. Dr. Dody Hartanto, M.Pd., guru besar baru Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dalam bidang Bimbingan dan Konseling Keluarga. Pada pidato pengukuhannya, pada Sabtu (30/8), Prof. Dody menyampaikan orasi ilmiah bertajuk “Konseling Harapan: Paradigma Baru Layanan bagi Keluarga dan Remaja dengan Masalah Kesehatan Mental.”
Dalam paparannya, Prof. Dody menekankan bahwa keluarga seringkali menjadi “kotak pandora” dari berbagai persoalan. Komunikasi yang minim, ketidakhadiran ayah secara psikologis (fatherless), hingga pengalaman buruk masa kecil (adverse childhood experience) kerap meninggalkan luka mendalam.
“Survei ketahanan keluarga di Indonesia mengungkapkan 68 persen masalah kesehatan mental pada remaja dan dewasa muda berakar dari pengalaman negatif di keluarga. Tekanan dalam keluarga dapat memunculkan permasalahan sosial yang serius,” ungkapnya.
Realitas ini semakin kompleks dengan hadirnya stigma sosial yang membuat banyak remaja enggan mencari bantuan profesional. Padahal, masalah seperti gangguan mood, hopelessness, hingga kecemasan akut terus menghantui generasi muda.
Untuk menjawab tantangan ini, Prof. Dody memperkenalkan Konseling Harapan, sebuah paradigma baru yang berfokus pada kekuatan (strength-based), bukan sekadar menyoroti kekurangan individu atau keluarga.
Metafora bunga teratai menjadi simbol pendekatan ini. Meski tumbuh di lumpur, teratai tetap tampil bersih dan indah. Begitu pula keluarga: meski menghadapi masalah, tetap memiliki peluang untuk tumbuh dan memancarkan potensi terbaiknya.
Model ini divisualisasikan dengan delapan kelopak bunga, terinspirasi dari bintang Alhambra, yang mewakili aspek penting dalam konseling harapan, mulai dari spiritualitas, resiliensi, hingga jejaring sosial.
Yang menarik, gagasan ini tak berhenti pada aspek psikologis saja. Prof. Dody menegaskan bahwa konseling harapan berlandaskan nilai spiritual, terutama Surah An-Nisa ayat 9. Penjelasan ayat yang menekankan pentingnya empati universal dan tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya.
“Membangun harapan bukan hanya tentang optimisme individu, tetapi juga membangun jejaring dukungan sosial dalam keluarga dan masyarakat,” tegasnya.
Melalui pidato pengukuhannya, Prof. Dody seakan ingin mengingatkan bahwa kesehatan mental remaja bukan sekadar urusan pribadi, melainkan tanggung jawab bersama. Melalui karya akademik ini, UAD meneguhkan perannya dalam menjawab tantangan sosial kontemporer. Tentunya dengan mengusung paradigma yang memadukan ilmu, nilai, dan spiritualitas.
Bagi Prof. Dody, pengukuhan sebagai guru besar bukanlah akhir perjalanan, melainkan awal dari misi besar: menyemai harapan bagi keluarga Indonesia agar mampu melahirkan generasi tangguh secara mental dan spiritual.
Be the first to comment